Presiden Joko Widodo telah memilih pendampingnya dalam pilpres tahun depan. Ada yang bersorak senang, ada yang tertunduk kecewa, sebagian lagi mungkin tak peduli dan menggunakan kejadian ini sebagai bagian olok-olok. Saya termasuk yang tertunduk kecewa, dan butuh dua belas jam untuk memahami pilihan Pak Presiden.
Namun dua belas jam tak seluruhnya digunakan untuk berpikir atau mencoba menelaah alasan Pak Jokowi. Sekitar dua jam saya gunakan untuk menikmati laga Indonesia VS Malaysia terhitung sejak deklarasi, sekitar delapan jam untuk tidur, dan sisanya memantau linimasa media sosial.
Menurut pemantauan saya, yang paling kecewa adalah para pendukung Pak Ahok. Namun, saya tak akan menjabarkannya di sini. Silahkan googling. Poin yang ingin saya sampaikan di dalam tulisan ini adalah dunia politik kita masih gitu-gitu aja.Â
Belum banyak berubah. Memang, kemenangan Pasangan Jokowi-JK, yang di masa kampanye melibatkan banyak elemen masyarakat, sempat membuat harapan itu ada. Tetapi serangan hebat dari oposisi (terlepas dari isu yang digunakan) dan pertahanan partai pendukung pemerintah yang kurang progresif, membuat harapan itu gugur sebelum berbuah.
Tetapi apalah artinya sebuah kemajuan jika negeri ini akhirnya berantakan? Pertanyaan ini yang sedikit mengobati kekecewaan saya. Benar juga. Mungkin negeri ini kelak infrastrukturnya bagus, tetapi lapisan masyarakatnya saling curiga dan menghancurkan, buat apa?
Namun, saya rasa itu bukanlah alasan mendasar. Banyak pengamat mengatakan bahwa keputusan itu untuk menyenangkan satu partai (satu orang) dalam koalisi. Saya lebih percaya ini. Dan perlahan, bisa memahami posisi Pak Jokowi.
Aduh... siapa sih saya harus bisa memahami Pak Jokowi? Jelas-jelas Pak Jokowi jauh di atas saya dalam segala hal.
Menjadi presiden pasti tak mudah. Apalagi presiden yang berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya -- kalau yang berjuang untuk kesejahteraan keluarga atau kelompok sendiri sih, mungkin lebih mudah. Logikanya begini : Pak Jokowi bukan dari elit partai atau konglomerat, beliau kemungkinan harus menjaga kedua golongan ini agar dapat 'perahu' sebagai syarat pilpres.
Jadi, mari (pura-pura) memahami pilihan Pak Jokowi yang memilih wakilnya untuk meredam isu SARA. Agar negeri kita damai. Sebab alasan itu baik untuk persatuan, meskipun buruk untuk kemajuan. Keputusan itu meninabobokkan masyarakat, dan ketika bangun : negara lain menguasai teknologi, kita masih di tahap perkenalan dengannya; negara lain menguasai hal dan memanfaatkan teknologi, kita dimanfaatkan.
Namun, bagi kita yang tak tega negeri ini tertinggal terus, ada cara untuk menyiasatinya. Satu-satunya cara yang terpikirkan penulis adalah jangan turut tenggelam dalam arus politik. Mengikuti boleh, tetapi jangan jadi bodoh dan pusing sendiri.
Setelah proses panjang ini, Pak Jokowi akan menunjukkan pada kita bahwa politik harus diisi dengan humor. Saya sangat berharap akan hal itu. Meskipun candaannya tak terdengar lagi seperti ketika kita menanti calon wakilnya di 2014 :