Mohon tunggu...
Mikchel Naibaho
Mikchel Naibaho Mohon Tunggu... Novelis - Pembaca. Penjelajah. Penulis

Pegawai Negeri yang Ingin Jadi Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Intoleransi dengan Apresiasi

4 Maret 2018   09:15 Diperbarui: 4 Maret 2018   13:34 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.flickr.com/photos/pictoquotes/15755717910

Ketika liburan di Pulau Dewata Bali, tepatnya di Pura Besakih, pemandu wisatanya terkejut menyaksikan saya yang tahu banyak tentang agama Hindu. Bahkan ia sempat berpikir saya pemeluk agama Hindu yang berbohong ketika di awal ia menanyakan agama saya. Keyakinannya bahwa saya berbohong mungkin didasari sikap saya yang menurut saja ketika pemandu tersebut mengajak berdoa dengan cara umat Hindu. Saking ragunya, berikutnya ia juga menanyakan apakah saya dulu pindah agama dari Hindu ke Katolik.

Seorang teman saya yang muslim pernah sangat terkejut ketika saya menyenandungkan lagu Tala' al Badru 'alayna. Lagu yang -- menurut penjelasan di internet, dulu dinyanyikan untuk menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW ke kota Madinah, lebih dari 14 abad yang lalu. Lagu itu memang pernah 'meledak' di dunia maya ketika sebuah video paduan suara anak-anak di Kanada menjadi viral. Saya memang sangat terkesan bila anak-anak dilibatkan dalam upaya menguatkan kerukunan beragama. Apalagi dengan cara kreatif seperti itu, saya pasti akan mengingatnya dengan jelas.

Sebenarnya si pemandu wisata dan teman saya itu (juga orang-orang lain) tak perlu terkejut bila menyadari kemajuan teknologi belakangan ini. Seseorang yang tahu banyak tentang ajaran agama lain di zaman ini, itu sangat lumrah. Teknologi sudah begitu memudahkan kita untuk mencari tahu apa yang ingin kita tahu. Seperti kata kebanyakan orang, "di zaman teknologi secanggih ini, menjadi bodoh adalah pilihan."

Mengapa saya tertarik mengetahui ajaran agama lain? Tentu saja bukan untuk perbandingan. Juga bukan untuk terlihat hebat, lalu mengajak orang lain menganut agama saya, karena agama yang saya anut berhasil membuat saya hebat. Bukan. Sama sekali bukan itu. Besarnya iman saya tidak ditentukan oleh begitu hebatnya ajaran agama yang saya anut, atau buruknya ajaran agama lain. Saya tidak perlu memburuk-burukkan ajaran agama lain untuk memperdalam iman. Lagipula, yang saya yakini, yang ber-hak menentukan iman seseorang dalam atau dangkal adalah Yang Maha Kuasa.

Saya tertarik mengetahui ajaran agama lain, agar saya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Saya belajar banyak dari Jalalaludin Rumi melalui syairnya, "Jangan tanya apa agamaku. Aku bukan yahudi, bukan zoroaster, bukan pula islam. Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku."

Dari syairnya itu saya tahu bahwa prasangka buruk yang kita sematkan pada orang lain, hanyalah berasal dari ketidaktahuan kita. Keterbatasan kita sebagai manusia dalam memaknai agama lain. Buktinya, kita tahu banyak orang baik dari setiap agama yang berbeda.

Mungkin banyak orang belum pernah mendengar syair Rumi tersebut atau memang mereka gak mau berpikir sedikit saja, mengapa kebencian selalu ada di antara penganut agama yang berbeda. Padahal syair Rumi sudah ada ratusan tahun lalu. Dan siapakah yang rugi bila kebencian itu masih melanda hati kita? Tentu saja kita sendiri. Meski memang, ada beberapa orang atau kelompok yang beruntung dari suburnya kebencian itu. Tetapi biasanya, orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang tak peduli dengan agama, apalagi kepada petani yang selalu dililit ketidakjelasan harga pupuk dan hasil panen.

Dan belakangan ini, ketika sikap intoleransi semakin hari semakin kerap terjadi di bumi Ibu Pertiwi tercinta ini, saya memutar kembali kenangan bagaimana saya akhirnya bisa menghanguskan kebencian itu hingga ke akar-akarnya, sehingga tidak tersisa sedikit pun kebencian terhadap pemeluk agama lain di hati saya.

Mungkin saya pernah di dalam fase merasa agama yang saya anut paling benar dan yang lain salah. Tetapi saya lupa kapan itu tepatnya. Yang jelas saya ingat, saya akhirnya berpikir, agama apapun, dapat melahirkan seorang penganutnya yang berjiwa luar biasa.

Saya mengagumi Gandhi dengan perjuangan tanpa kekerasan-nya. Saya mengagumi Jalaludin Rumi, yang karena syairnya saya selalu merasa menari-nari bersama Sang Pencipta. Saya mengagumi Dalai Lama yang ajarannya selalu melembutkan hati. Dan tentu saja saya mengagumi Bunda Teresa yang mendedikasikan hidupnya bagi orang-orang yang terlantar di jalanan.

Di dalam negeri ini, saya mengagumi Gus Dur yang gigih memperjuangkan kemanusiaan, saya mengagumi Buya Syafi'i Maarif, Gus Mus, Cak Nun. Saya sering membaca tulisan Gede Prama yang menenangkan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun