Tidak semestinya lagi ‘Nilai Ganti Kerugian Atas Pemakaian Tanah Akibat Operasi Eksplorasi Minyak, Gas Bumi, Pertambangan dan Energi’ diperdebatkan hingga berbuntut pada gelombang aksi protes massa seperti yang terjadi pada operasi eksplorasi (survey seismic) 2D di Own Production PT Pertamina EP Blok Selingsing yang dilakukan PT Elnusa Tbk.
Meski Peraturan Gubernur (PERGUB) No. 19 tahun 2014 tentang ‘Pedoman Tarif Nilai Ganti Kerugian Atas Pemakaian Tanah dan Pembebasan Tanam Tumbuh dan Bangunan Di Atasnya Akibat Operasi Eksplorasi dan atau Eksploitasi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Perusahaan Swasta Lainnya telah mengatur secara detil berkenaan dengan hak-hak pemegang hak atas tanah yang terkena dampak operasi eksplorasi, namun pada prakteknya, aturan ini terindikasi sengaja diselewengkan oleh oknum pelaksana kegiatan yang sengaja menganulir atau tidak memberlakukan pasal 2 ayat 1 PERGUB 19/ 2014 tersebut (Berdasarkan panjang jalur kegiatan, nilai ganti kerugian atas pemakaian tanah akibat operasi eksplorasi minyak, gas bumi, pertambangan dan energi ditetapkan sebagai berikut : a) Tanah belukar, rawa, alang-alang yang ada pemiliknya Rp. 1,350,-/m2 b) Ladang yang diusahakan palawija dan sayur-sayuran Rp. 2.700,-/m2 c) Ladang/ sawah yang ada padinya Rp. 3.300,-/m2 d) Kebun tanaman perkebunan Rp. 4.050,-/m2 e) Kebun tanaman buah-buahan dan lain-lain Rp. 2.850,-/m2).
Hal ini tentu erat kaitannya dengan persoalan izin pemakaian tanah dari si pemegang hak atas tanah. Secara umum pengertian izin itu sendiri yakni perkenan atau pernyataan mengabulkan. Sedangkan istilah mengizinkan mempunyai arti memperkenankan, memperbolehkan, tidak melarang. Jadi, manakala pemegang hak telah mengizinkan tanahnya dipergunakan atau dipakai untuk suatu kepentingan atau keperluan (dalam hal ini operasi eksplorasi), maka tidak ada lagi persoalan yang mesti diperdebatkan.
Namun untuk mendapatkan izin dari pemegang hak atas tanah tentu tidak bisa dilakukan dan diperoleh begitu saja meski dalam argumentasinya, perusahaan pelaksana operasi eksplorasi blok Selingsing mengatakan telah mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat, Gubernur, Bupati dan Kecamatan yang merupakan hirarki izin prinsip.
Bahkan dalam UU. Nomor 51 PRP Thun 1960 tentang Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak Atau Kuasanya dalam Pasal 2 disebutkan “Dilarang memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah”.
Jadi, persoalan apalagi yang mau diperdebatkan oleh perusahaan pelaksana tentang penggantian atas pemakaian tanah akibat operasi eksplorasi jika mereka tunduk dan taat menjalankan amanat peraturan perundang-undangan tersebut.
Sederhananya, untuk memperoleh izin pemakaian tanah dari yang berhak tidaklah semata-mata diganti dalam bentuk uang. Bisa saja perusahaan pelaksana kegiatan eksplorasi menggantinya dengan kompensasi lain, misalnya dengan melibatkan si pemegang hak dalam pekerjaan eksplorasi tersebut sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya, atau menggantinya dengan membangunkannya sarana atau fasilitas umum yang dapat dimanfaatkan bersama, atau cara-cara lain yang intinya tidak terdapat perbuatan melawan hukum akibat menggunakan/ memakai tanah tanpa izin dari si pemegang hak sebagaimana KUHP pasal 167 dan 385.
Ikhwal peraturan perundang-undangan dibuat tentu dengan kajian akademik yang ilmiah. Ahli dan pakar dibidangnya tentu dilibatkan, profesor dan sarjana-sarjana dengan kemampuan intelektualnya tidak mungkin begitu saja membuat aturan semaunya. Nah kalau sudah begini, mungkinkah dalam penerapan aturan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah mengesamingkan aturan dan mengandalkan otot, siapa yang bertanggung jawab jika konflik ini berbuah korban?
Cost RecoveryUangnya Kemana?