Mohon tunggu...
Bahauddin Amyasi
Bahauddin Amyasi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tak ada yang berarti dari sebuah biografi yang kutulis ini, keculai bahwa kita hanya hidup untuk berbagi, dengan hati dan nurani...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Epistemologi Rindu

26 Juli 2010   20:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:35 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

apa yang bisa diharapkan dari rinai kerinduan? hingga bahkan kata-kata yang dilagukan hujan tak juga mampu lukiskan rindu yang muncrat kedinginan. maka kuwaqafkan saja rindu pada jendela kamarnya yang muram, sampai aku benar-benar paham untuk apa ia munajatkan rahasia diam. asa rindu adalah perjumpaan. adakah derap-derap angin telah cukup dengan maklumat yang disampaikan? tentu tidak wahai, pujangga! hasrat rindu adalah dahaga padang sahara, sedingin hujan pun tetap terbakar oleh panasnya. tapi sunguh aneh, segersang dahaga rindu, sekejap senyap karena wajahnya. lalu, apa yang diharapkan selain pertemuan? ah, andai kau tahu matanya yang kaca, sungguh betapa tak berartinya dahaga sahara. bahkan hingga kelak asa tak pernah berjumpa, luka telah lama kueja. maka rindu tak pernah sia-sia. lantaran telah kusimpan serpih kaca dari matanya, abadi dalam jiwa... kau kalah telak, pujangga. dan bayangan kekalahanmu terpantul dari serpihan kaca di matanya. kau pasrah pada kebadian angan. entah dalil apa yang kau siratkan? atau keadaanmu yang memang ku tak paham. jika kau bisa dekap dia dalam pelukan, kenapa hanya dalam jiwa pecahan kaca itu kau simpan? ah, barangkali kau terlalu dini memaknai aksiologi rinduku! sungguh, epsitemolginya jauh melampaui eksistensialisme Sarte, roh absolut-nya Hegel, juga substansi-nya Spinoza. nalar rinduku tak kenal empirisisme Hume. maka tak perlu kau persoalkan eksistensi, jika esensi telah terpatri. sungguh, bagaimana mungkin kubunuh rinduku seperti Nietzsche membunuh tuhannya, jika tanpa rindu ragaku tak ada? bagiamana mungkin kulumat habis seluruh raga, jika selingkuh rasa pun aku tak bisa? Surabaya, 13 Juli 2010 Note: untuk sahabatku, Afif Mabash DoeaSatoe, thanks atas balasan sms-nya ya. Sungguh, membantu banget melukiskan historiografi rinduku... :-))

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun