PERUBAHAN iklim menjadi isu yang memiliki urgensi tinggi dan memerlukan perhatian serius semua pihak. Fenomena ini adalah nyata yang didukung oleh bukti ilmiah.Â
Peran media massa berada di posisi yang penting untuk menyebarkan tentang isu-isu krisis iklim dan untuk menciptakan opini publik. Di sinilah media dapat menjalankan fungsinya dalam menyebarkan fakta dan membantu publik memahami urgensinya mengatasi dan menghadapi krisis iklim.Â
Fungsi media tersebut dikuatkan dengan adanya teori agenda setting yakni kemampuan media massa untuk memilih dan menekankan pada isu-isu tertentu, karena isu-isu itu dipandang penting oleh publik (Suprapto, 2006:46).
Fenomena suhu panas yang terjadi akhir-akhir ini di sejumlah daerah di Indonesia boleh dibilang bukan hal yang biasa-biasa saja. Pendek kata, Bumi sedang tidak baik-baik saja. Pemberitaan tentang perubahan iklim nyatanya belum membuat publik memahami akar persoalan dari ancaman terhadap Bumi.Â
Padahal, pemberitaan tentang perubahan iklim memiliki kesamaan dengan pemberitaan Covid-19. Keduanya sama-sama merupakan fenomena sains dan isu global yang ditanggung secara lokal dan harus dihadapi bersama.
Dalam pemberitaan CNNIndonesia.com disebutkan, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Banten, menjadi wilayah dengan suhu terpanas di Indonesia selama hampir sepekan terakhir hingga 13 Mei 2022. Suhunya mencapai 36 derajat Celcius pada 8 Mei 2022. Sama dengan suhu di wilayah Kabupaten Bekasi.
Data ini dikutip CNNIndonesia.com dari pernyataan Koordinator Bidang Cuaca dan Peringatan Dini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Miming Saefudin. Dalam pantauan BMKG, beberapa wilayah di Indonesia memang diterpa suhu panas beragam setiap harinya. Suhu maksimum terukur selama periode tanggal 1-7 Mei 2022 berkisar antara 33-36,1 derajat celcius. (https://www.cnnindonesia.com, 13 Mei 2022)
Fenomena suhu panas tidak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi berlangsung secara global. BBC.com memberitakan dampak pemanasan global berpotensi jauh melebihi perkiraan yang sebelumnya diyakini secara internasional. Merujuk para peneliti di Badan Meteorologi Inggris, terdapat kemungkinan rata-rata suhu tahunan bumi akan naik lebih dari 1,5 derajat Celsius selama lima tahun ke depan. Potensi terjadinya perkiraaan ini 50 berbanding 50.
Kenaikan suhu seperti itu diyakini hanya bersifat sementara. Meski begitu, para peneliti tetap mencemaskan kenaikan suhu secara keseluruhan.Â
Secara umum, para peneliti di Badan Meteorologi Inggris yakin bahwa pada tahun 2022 sampai 2026 akan muncul rekor suhu terpanas. Periset utama Badan Meteorologi Inggris Leon Hermanson menyatakan hal mendasar menjadi penyebabnya adalah perubahan tingkat karbondioksida di atmosfer yang perlahan-lahan naik. (https://www.bbc.com, 10 Mei 2022)
Pada Hari Bumi 22 April 2022 lalu, Google doodle mencoba mengampanyekan ancaman krisis iklim melalui potret linimasa Bumi dari tahun 1986-2020.Â
Hal ini untuk memberikan pengetahuan kepada publik bahwa telah terjadi perubahan pada iklim di Bumi dari tahun ke tahun. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim yang diakibatkan oleh aktivitas manusia baik langsung atau tidak langsung, sehingga mengubah komposisi atmosfer global dan variabilitas iklim alami, dalam periode waktu yang bisa diperbandingkan.
Komposisi atmosfer global adalah material atmosfer planet Bumi yang berupa gas rumah kaca. Di antaranya itu terdapat karbondioksida, metana, nitrogen, dan lainnya.Â
Sebetulnya, gas rumah kaca diperlukan untuk menjaga kestabilan suhu Bumi. Namun, konsentrasinya yang meningkat akan mengakibatkan lapisan atmosfer semakin tebal. Penebalan tersebut akhirnya menimbulkan panas Bumi yang terperangkap di atmosfer juga semakin banyak, sehingga suhu planet ini meningkat. Inilah yang kemudian disebut pemanasan global.
Iklim sendiri berubah secara terus menerus disebabkan interaksi antara komponen-komponennya serta faktor eksternal lain seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, juga kegiatan manusia semacam penggunaan bahan bakar fosil atau perubahan penggunaan lahan. (https://www.detik.com, 22 April 2022)
Pemberitaan pikiran-rakyat.com lebih jauh membahas tentang ancaman perubahan iklim. Media ini menyampaikan informasi bahwa ancaman berbahaya datang dari Kutub Utara. Informasi tersebut mengutip dari hasil penelitian yang diterbitkan jurnal ilmiah Nature. Disebutkan bahwa pencairan es di Kutub Utara, yang dapat melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca, merupakan ancaman bagi planet ini secara umum.
Suhu di Kutub Utara meningkat jauh lebih cepat daripada bagian dunia lainnya di bawah pengaruh perubahan iklim, sebesar 2 hingga 3 derajat Celcius. Studi ini memperkirakan hilangnya sekitar 4 juta kilometer persegi daratan es pada tahun 2100, bahkan jika pemanasan iklim dapat diatasi. (https://www.pikiran-rakyat.com, 12 Mei 2022)
Fenomena mencairnya es tak cuma di Kutub Utara. Menurut Badan Meteorologi, Klimatolologi, dan Geofisika (BMKG), es di puncak Gunung Jayawijaya Papua diprediksi bakal mencari alias musnah pada 2025 mendatang. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, pemanasan global dan kenaikan suhu akibat perubahan cuaca ekstrem merupakan penyebabnya.
Dwikorita menyampaikan puncak Gunung Jayawijaya pada 2020 lalu diketahui memiliki ketebalan es hingga 31,49 meter. Kini kondisi es di Gunung Jayawijaya hanya tinggal 1 persen dari puncak area Jaya Wijaya yang memiliki luas 200 kilometer persegi, atau saat ini lapisan es hanya ada di sekitar 2 kilometer persegi. (https://techno.okezone.com, 25 Maret 2022)
Dengan skala isu yang begitu besar, media massa ternyata belum membuat publik memahami akar persoalan dan konsekuensi dari krisis iklim.Â
Berita perubahan iklim memang cenderung sangat berat dan negatif. Pemberitaan yang terlalu negatif bisa jadi malah membuat masyarakat mengalami gangguan psikologis dan menghindari berita. Padahal hal ini tidak boleh terjadi karena perubahan iklim merupakan isu dengan urgensi tinggi yang membutuhkan perhatian serius.
Konsep agenda setting yang dijalankan media dengan menciptakan public awareness (kesadaran masyarakat) dengan menekankan sebuah isu yang dianggap paling penting untuk dilihat, didengar, dibaca, dan dipercaya, semestinya tidak bertujuan hanya untuk membentuk opini publik semata. Tetapi juga harus dapat membentuk tindakan publik berkaitan dengan perubahan iklim.
Sejauh ini, publik --meski tidak seluruhnya- belum terlihat gereget dengan pemberitaan-pemberitaan tentang perubahan iklim dan ancamannya. Banyak tautan-tautan pemberitaan media online yang disebar di beranda media sosial, hanya menjadi bahan obrolan menghiasi kolom komentar. Publik pengguna media sosial saling berbalas komentar memberikan pendapatnya masing-masing.
Bandingkan dengan pemberitaan-pemberitaan tentang rencana pengesahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upah pekerja. Atau pemberitaan tentang kasus-kasus korupsi.Â
Publik kerap bertindak. Kalangan pekerja yang merasa kebijakan pemerintah mengancam kesejahteraan mereka, ramai-ramai berunjuk rasa menolak pengesahan peraturan perundang-undangan. Ini bisa dilakukan sampai berhari-hari. Kalangan lainnya berdemonstrasi menuntut pelaku korupsi diusut tuntas.
Pada pemberitaan tentang perubahan iklim, seharusnya media massa memberikan lebih banyak informasi tentang tentang solusi untuk menangani krisis. Sehingga tidak hanya menjadi beban pemerintah atau ilmuwan. Tetapi publik sebagai masyarakat umum dapat membantu menyelesaikan krisis iklim.Â
Sebab, sejatinya media massa memiliki kekuatan yang powerfull bagi masyarakat karena media massa bukan hanya membentuk opini publik. Tetapi juga dapat membentuk tindakan publik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H