Bahasa Jawa masih menjadi primadona di Pesantren. Pesantren menjadi salah satu lembaga yang turut merawat kelestarian bahasa Jawa. Terutama di Pesantren-pesantren wilayah Jawa tengah dan Jawa timur. Meskipun bahasa Jawa tidak diprioritaskan di Pesantren modern. Bahasa Jawa di pesantren digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari selain bahasa arab. Selain itu, bahasa jawa digunakan sebagai alat pengantar dalam pengajian kitab-kitab salaf. Bahkan di pesantren-pesantren tradisional, bahasa jawa menjadi bahasa tata krama dalam pergaulan sehari-hari. Akan tetapi, pada masa kekinian peran pesantren dalam melestarikan bahasa Jawa mulai terancam karena transformasi kelembagaan yang dialami pesantren. Banyak pesantren tradisioanal yang mulai mengadopsi sistem pendidikan formal dan perlahan mulai meninggalkan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar keilmuan dan bahasa pergaulan.
Melihat dinamika terkini, tak heran jika berbagai lembaga kultural di masyarakat seperti pesantren, atau juga seni tradisi, yang mungkin tanpa disadari banyak pihak cukup banyak berpartisipasi dan berkontribusi merawat bahasa Jawa secara perlahan mulai berkurang perannya. Kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap sistem pendidikan pesantren untuk juga ikut mengakomodasi sistem negara atau untuk menjadi lebih modern secara dilematis menggiring berkurangnya porsi penggunaan bahasa Jawa di Pesantren sebagai bahasa keilmuan dan bahasa pergaulan. Sementara itu, seni tradisi semakin kurang diminati, karena desakan kultur global yang berciri monolitik. Politik kebudayaan nasional ternyata berdampak pada peminggiran peran bahasa ibu.
Bahasa nasionalyang dungu
Sependapat dengan Soedjatmoko (1984: 135-139), di era pembangunan memaknai kemerdekaan, bahasa Indonesia telah menjalankan fungsinya sebagai bahasa kenergaraan, bahasa pelantara dalam pergaulan antar daerah, serta menjadi wadah tunggal untuk kemajuan dan pembangunan. Transformasi sosial, seperti meningkatnya mobilitas horisontal dan vertikal, proses urbanisasi serta proses modernisasi, telah memperluas penggunaan bahasa Indonesia.Hal kecil dari dialektika bahasa ibu yang tidak teradopsi ke bahasa nasional dan hampir dikatakan ke ranah politik kebudayaan nasional yaitu tidak diserapnya bahasabibu sebagaikhasanah bahasa indonesia tapi malah penyerapan istilah asing. Meminjam istilah Akhmad Baihaqie, alumni Universitas Al-Azhar Kairo jurusan bahasa dan sastra Arab, mempertanyakan mengapa bahasa indonesia lebih banyak menyerap istilah asing dari bahasa Inggris dan Arab. Mengapa tidak memanfatkan ratusan bahasa daerah sebagai sumber kata serapan , seperti yang dilakukan Majma Lughah al-Arabiyah (Pusat Bahasa Arab) yang cenderung menghidupkan kembali kosakata arkais dalam khazanah kebahasaan yang mereka miliki untuk digunakan yang dipopulerkan kembali? Inilah contoh yang dapat menjadi gambaran tentang negoisasi antara bahasa ibu dan bahasa nasional
Bahasa Nasional, Bahasa Ibu dan SMS?
Rusaknya bahasa ibu yang dibarengi bahasa Nasional di berbagai kalangan semakin jelas dan memperhatinkan. Bahkan secara Nasional sudajh terkampanyekan melalui media terutama media elektronik, banyak dialektika bahasa ibu yang diplesetkan bahkan bahasa nasional juga tidak ketinggalkan, dengan menigkatnya IT yang semakin hebat dampak positif dan negatif padti ada. Bagaimana sebuah media elektronik bisa bermanfaatkan menguri-uri bahasa ibu yang semakin punah. Salah satu contoh yang merusak bahasa ibu maupun Nasional adalah bahasa tulis dalam layanan pesan singkat dan bagaimanapun menurut muda-mudi sebagai bahasa gaul. Bagaimana bahasa sms itu terus berlanjut, lain dengan halnya bahasa sandi yang memang sengaja dieja dan dipelajari secara khusus.
Oleh: Ali Mahmudi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H