Mohon tunggu...
Hanief AN
Hanief AN Mohon Tunggu... -

Seorang tukang foto yang sedang belajar menulis... :)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pakuga Terakhir Sang Raja

16 Juni 2011   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Debu mengepul bergulung-gulung memutih. Titik-titik berwarna-warni terlihat timbul tenggelam. Di bawahnya tampak kepala-kepala besar dengan surai panjang berkibar-kibar. Suara bergemuruh berkelindan tak jelas lagi sumbernya. Namun ada suara yang terasa dominan diantaranya. Dan suara derap itu makin keras. Makin mendekat ke arahku. *** Sebuah foto yang diunggah seorang sahabat ke sebuah jejaring sosial seakan menghadirkan kenangan peristiwa setahun lalu. Ketika suatu saat saya berada ribuan kilometer dari kampung halaman, ditengah ribuan manusia dalam sebuah hajatan budaya yang begitu kuat mengakar dalam masyarakatnya. Dan saya merasa beruntung datang dalam waktu yang tepat, karena ini bukan hajatan yang digelar saban hari dan dengan gampang kita temui kapan pun kita menginginkannya. Hari itu, di hari pertama kedatangan saya di Tanoh Gayo, saya menyaksikan Pakuga: Pacu Kude Gayo. *** Ahad, 28 maret 2010, bersama 3 teman saya dari Gayo Photography Community: Bang Khalis, Bang Eddy dan Bang Muna, dari Takengon, dengan berboncengan kami mendatangi Lapangan Sengeda di Bener Meriah. Hari itu adalah hari terakhir dari sepekan rangkaian acara Pakuga untuk wilayah Kabupaten Bener Meriah. Ribuan penonton dari anak-anak sampai yang berusia lanjut telah tumpah ruah disana ketika kami tiba. Ratusan sepeda motor dan puluhan mobil memadati areal parkir. Tidak sedikit yang datang beramai-ramai dengan mobil atau kendaraan besar seperti bus dan truk. Saya tidak mengira bahwa tradisi ini bisa mengundang antusiasme yang begitu besar dari masyarakat. Lapangan itu dikelilingi jajaran bukit membiru. Pohon-pohon pinus menjulang disana-sini. Di kejauhan tampak kumpulannya yang lebih lebat berjajar menghijau menyejukkan mata. Seperti lazimnya sebuah keramaian, suasana makin dimeriahkan dengan kehadiran banyak pedagang yang menawarkan berbagai barang. Mulai dari mainan anak-anak, makanan, minuman, pakaian, sayur-mayur, sampai ikan depik yang merupakan ikan endemik Danau Lut Tawar pun ramai dijajakan di beberapa tempat. Saya bahkan melihat seorang anak beratraksi menari dengan ular yang cukup besar. Payung warna-warni terkembang disana-sini sekalipun matahari tidak bersinar terik tertutup mendung tipis. Banyak rombongan-rombongan kecil yang duduk bersama menggelar tikar dan membentangkan kain peneduh. Beberapa diantaranya jelas sebuah keluarga. Belasan layang-layang terbang meliuk-liuk, dimainkan sambil menunggu saat tibanya waktu bertanding. Saya beberapa kali mengangguk dan tersenyum ketika tatapan mata saya tak sengaja berserobok dengan beberapa warga. Semua membalas sapaan saya dengan ramah dan hangat. Beberapa diantaranya melambai-lambai minta difoto begitu melihat kamera terkalung di leher saya. Keriuhan terhenti ketika adzan Dhuhur dikumandangkan. Semua warga mengantri dengan tertib untuk mengambil air wudhu dan sholat berjamaah bergantian di sebuah Mersah (Musholla) di salah satu sudut lapangan. Tak lama usai sholat dan makan siang di sebuah kedai, final pacu kude sekaligus untuk merayakan HUT Kabupaten Bener Meriah  yang ke-6 pun dibuka dengan resmi oleh Bupati dengan pidato singkat di podium kehormatan. Tiga puluh dua piala keemasan dengan variasi warna merah, biru dan hijau berkilat-kilat ditata rapi di dekatnya. Sepintas saya membaca tulisan di piala itu ada untuk kelas muda dan kelas tua. Saya dan teman-teman segera menyebar mencari posisi yang kami anggap strategis untuk mengambil gambar. Saya berjalan melewati sebuah menara yang dibangun dekat tempat start. Saya melihat tidak sedikit penggemar fotografi yang menggunakan kesempatan ini untuk berburu foto. Awalnya saya berdiri dekat serombongan penonton berbahasa Jawa sebelum akhirnya berpindah lagi. Dari pengeras terdengar suara pria menyebutkan nama-nama kuda yang turun bertanding lengkap dengan keterangannya. Penonton bertepuk dan bersorak saat nama kuda jagoannya disebutkan. Bang Khalis bercerita bahwa kuda-kuda yang bertanding adalah kuda Astaga, akronim dari Australia dan Gayo, asal indukan kuda-kuda itu. Dan lomba pacu kude Gayo pun dimulai sekitar pukul 14:00. Suara derap kaki kuda menjejak tanah terdengar mendekat, melintas dan menjauh berkali-kali. Debu beterbangan. Penonton riuh bersorak menyemangati. Kuda-kuda berlari dalam lintasan memutar yang cukup luas. Joki-joki terpantul-pantul di punggung kuda. Semua masih belia. Inilah salah satu keunikan pacu kude Gayo. Tidak ada peraturan yang mengikat. Termasuk tidak ada pembatasan usia minimum. Tidak ada joki yang mengenakan pakaian khusus. Semua mengenakan pakaian sehari-hari biasa. Sangat berbeda dengan pacuan kuda yang saya lihat di televisi, joki-joki profesional dengan baju, celana, sepatu, topi, dan cambuk khusus. Bahkan di pacu kude Gayo tidak ada pelana yang digunakan. Alih-alih perlengkapan pelindung untuk pengaman. Bahkan batas antara penonton dan lintasan pacu pun hanya pagar sederhana dari kayu yang ditancapkan dengan tali karet hitam dari irisan ban yang di kampung saya biasa digunakan untuk tali timba. Beberapa penonton berpindah-pindah dari lingkaran di luar lintasan ke lingkaran dalam lintasan atau sebaliknya, menyeberangi lintasan pacu. Saya sempat bergidik melihat seorang anak yang berlari-lari menyeberangi lintasan pacu, tak sampai tigapuluh meter di depan deretan kuda-kuda yang tengah berpacu cepat. Beberapa detik kemudian kaki-kaki kokoh kuda-kuda itu telah menjejak melintasi tempat anak tadi menyeberang. Entah sudah berapa kali saya jepretkan kamera, ketika terdengar keributan beberapa meter dari posisi saya berdiri, di sebuah tikungan yang agak sepi penonton. Mungkin karena letaknya yang sedikit terhalang jajaran pinus sehingga bukan tempat yang strategis untuk menonton pacuan. Seekor kuda coklat mengilat dengan bercak putih memanjang di tengah dahinya tersungkur. Kakinya menjejak-jejak liar tak terarah. Debu mengepul di sekelilingnya. Ringkikan kesakitan terdengar. Saya meringis iba. Sejenak kuda itu diam berbaring. Napasnya memburu, perutnya kembang-kempis dengan cepat. Dengan mendengus kuda itu mencoba bangkit namun tersungkur lagi. Seseorang mengatakan kuda itu bernama Raja Redines. Mobil ambulan dengan sirene meraung mendekat, lalu pergi lagi membawa joki berbaju putih yang ikut terjatuh. Penonton berlarian mendekat, dan dalam waktu singkat telah menjadi kerumunan. Sebuah truk dan mobil bak terbuka mendekat, menurunkan beberapa orang yang tampaknya dari keluarga pemilik kuda. Ekspresi cemas dan sedih tergambar dari wajah-wajah mereka. Seorang pria menyeka sekujur badan kuda dengan handuk basah untuk mendinginkan dan mengurangi sakit. Dua pria yang lain menyiramnya dengan ember. Diam-diam saya berdoa dalam hati. Sekonyong-konyong Sang Raja berdiri tegak. Saya menahan napas. Kuda itu mulai berjalan. Namun baru tiga langkah, kuda itu terhuyung dan terjerembab lagi. Perempuan-perempuan berkerudung yang baru turun dari mobil memekik. Seorang pria dengan mata basah berteriak-teriak meminta penonton melonggarkan kerumunan untuk memberi ruang bagi Raja Redines. Beberapa kali kuda itu mencoba bangkit dengan dibantu beberapa pria dengan tali, namun jatuh lagi. Mungkin ada tulangnya yang patah. Beberapa diantara penonton mengambil gambar dengan kamera ponselnya. Perempuan-perempuan berkerudung tadi mulai tersedu. Seorang diantaranya yang berkerudung kuning melolong, meratap sebelum akhirnya lemas tak sadarkan diri dan digotong masuk mobil truk. Gumaman penonton terdengar seperti dengungan. Suasana menjadi emosional. Atmosfer haru menguar. Beberapa orang berkaca-kaca matanya dan saya pun terbawa suasana. Seorang pria besar dengan wajah murung berjalan gontai. Dia tampak berjuang menahan tangis, meskipun satu dua jatuh juga air matanya yang buru-buru disekanya. Mungkin ia pemilik kuda itu. Saya menyingkir, mundur dari kerumunan tak tega lebih lama menyaksikan sang kuda berjuang berdiri dan tersungkur beberapa kali. Akhirnya dengan kain terpal Raja Redines diangkat beramai-ramai ke truk terbuka. Sekitar 10 pria ikut di dalamnya. Truk menjauh membawa pergi Sang Raja. Penonton mengular beriringan mengikuti dibelakangnya. Tak berapa lama, pacuan pun dilanjutkan kembali. Tinggal satu putaran dan rangkaian pacu kuda tahun itupun berakhir. Dari kejauhan terdengar suara pengeras mengucapkan serangkaian kata-kata yang tidak terdengar jelas dari tempat saya berdiri. Mungkin upacara penyerahan piala. Entahlah. Kami pun beranjak pulang ke Takengon. [caption id="attachment_116857" align="alignnone" width="439" caption="Pacu Kude Gayo, di Bener Meriah NAD"][/caption] *** Selasa petang, 30 Maret 2010, usai sholat Maghrib di sudut beranda sebuah Masjid tak jauh dari Lapangan Musara Alun Takengon, saya bergabung dengan beberapa pria yang duduk-duduk menunggu waktu Isya' tiba. Saya pun memperkenalkan diri. Perbincangan mengalir dengan hangat. Akhirnya sampai juga pembicaraan tentang pakuga. Seorang pria bercerita tentang apa yang didengar dari orang-orang tua dan apa yang dibacanya, bahwa konon dulu pakuga di Takengon berlangsung di Lapangan Musara Alun. Pakuga tidak hanya menjadi ajang kompetisi kuda-kuda unggul untuk memenangkan gelar kuda terbaik namun juga ajang untuk memenangkan perhatian dari lawan jenis. Kala itu, selama pacuan berlangsung muda-mudi berjalan beriringan berbaris-baris mengelilingi arena pacu. Barisan tersebut berjalan searah atau saling berlawanan arah putaran dengan barisan yang lain. Saat itulah terjadi interaksi antar mereka. Saat gadis-gadis yang malu-malu menyembunyikan wajahnya dibalik kerudung atau payung warna-warni tak sengaja saling bertemu pandang dengan seorang pemuda. Terjadilah kontak mata yang menggelorakan gejolak di dada aqil baligh mereka. Hanya sebatas itu dan tidak pernah berlebihan. Dalam masyarakat Gayo yang menjunjung tinggi adat dan budaya muslim yang menabukan pergaulan antara pria dan wanita secara bebas tentu ini adalah kesempatan yang luar biasa untuk mengenal lawan jenis. Tak jarang dari arena pakuga ini, benih-benih asmara bersemi, mekar dan berujung ke pernikahan. Saya terpikat dengan cerita pria di masjid itu. Romantisme yang melebur dalam sebuah tradisi, berbingkai ajaran budi pekerti yang luhur sungguh memesona saya. Indah sekali. Namun entah sejak kapan tradisi ini lenyap dan tak lagi mengiringi pakuga. Saya melamun dan bertanya-tanya kenapa tradisi unik ini tidak dilestarikan dan ditumbuhkan lagi? Mungkin untuk jaman dimana interaksi bisa dilakukan dengan berbagai cara dan sarana modern seperti sekarang, mengembalikan tradisi ini ke tujuan semula, terasa sebagai hal yang sudah kurang relevan lagi. Tapi bukankah ini bisa menjadi daya tarik tersendiri untuk sebuah hajatan budaya bernama Pacu Kude Gayo, sekaligus mengajarkan keluhuran pekerti kepada generasi muda? Lamunan saya buyar ketika pria yang lain menyambung cerita tentang nuansa magis yang kental merebak dalam pakuga. Tak bisa dipungkiri, pakuga juga adalah ajang adu kuat ilmu gaib antar peserta dan lebih spesifik antar dukun. Tak jarang dalam arena pakuga ada ritual potong ayam atau ditemukan sesaji yang diletakkan di lokasi tertentu. Bahkan kadang kuda-kuda pacu dimandikan dan menjalani serangkaian ritual tertentu sebelum turun bertanding. Beberapa orang memercayai pertarungan ilmu gaib inilah yang sering menyebabkan kuda-kuda lawan menjadi kebingungan, tiba-tiba berhenti menjelang garis finish atau tiba-tiba berbalik dari arahnya semula bahkan membuat kuda lawan jatuh tersungkur. Saya terdiam. Teringat kuda coklat yang tersungkur di arena pakuga tempo hari. Apakah Raja Redines korban dari ilmu gaib? Entahlah, mungkin cuma kecelakaan biasa yang bisa terjadi kapan pun. Saya tidak tahu. Tapi saya tahu, dari pria-pria itu bahwa Raja Redines akhirnya mati, meregang nyawa di perjalanan. Saya tercenung. Terlepas dari banyak hal, Raja Redines mungkin hanya seekor kuda, namun kematiannya mampu mengguratkan kesan tersendiri bagi saya. Kematian dalam mengemban tugas. Kematian dalam menjalani fitrah. Seperti kematian Sri Panggung dalam pentasnya. Seperti kematian Jenderal dalam medan perangnya. Seperti kematian Raja dalam tahtanya.. *** [caption id="attachment_116855" align="alignnone" width="461" caption="Paling Kiri: Raja Redines"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun