Mohon tunggu...
Hanief AN
Hanief AN Mohon Tunggu... -

Seorang tukang foto yang sedang belajar menulis... :)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kilau Permata Muaro Jambi

11 Desember 2010   23:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:49 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1292109727224184625

Beberapa waktu yang lalu tidak terduga, Mas Ifoed, kakak angkatan kuliah saya yang bertahun-tahun tidak pernah kontak, menelpon saya. Dia bercerita, sekarang dia bertugas di Jambi, dan habis melihat foto-fota saya di facebook tentang Jambi. Telponnya mengingatkan saya tentang perjalanan saya ke Jambi medio Februari 2010 lalu. ********* Pagi buta, lepas adzan Shubuh, di atas motor dibonceng sahabat saya Iwan, kami menembus kelengangan jalanan pagi Jambi. Sepanas-panasnya Jambi, pagi harinya tetap saja terasa dingin. Angin menembus jumper tipis yang saya kenakan dan menerpa kaki-kaki saya yang terbuka. Tapi saya tidak peduli. Saya terlalu exciting dengan apa yang akan kami tuju. Kata-kata komplek candi terluas di Asia berputar di kepala saya. Saya tidak tahu apakah Iwan juga seantusias saya atau dia hanya seorang teman baik yang sedang menjadi "tuan rumah" yang pengertian dengan mengantarkan temannya yang penasaran.haha. [caption id="attachment_79548" align="alignleft" width="343" caption="Candi Tinggi"][/caption] Langit masih gelap ketika kami melintasi Danau Sipin yang hanya tampak sebagai lubang hitam raksasa dengan selapis kabut tipis yang mengambang di permukaannya. Tak berapa lama perjalanan dari situ kami pun melintasi salah satu landmark Jambi. Sebuah jembatan yang melintang sepanjang satu kilometer dan bernama sama dengan sungai yang diseberanginya, salah satu ikon yang "Jambi banget": Sungai Batanghari. Tawaran Iwan untuk berhenti sejenak untuk mengambil gambar tidak saya sia-siakan. Satu dua kendaraan melintas. Seorang Ibu berjilbab yang entah mau ke pasar atau ke ladang tampak mendukung sesuatu di punggungnya berjalan cepat-cepat tak peduli dengan kegiatan kami. Dapat beberapa jepret, bergegas saya mengajak meneruskan perjalanan. Tidak banyak waktu yang kami punya pagi itu. Sekitar jam 9 Iwan harus bekerja. Dan saya yang sudah merasa sangat berterimakasih atas kebaikannya mengantarkan, tidak berniat lebih banyak lagi menyusahkan. Kami sama-sama belum pernah kesana, jadi sekalipun Iwan sudah 2 tahun di Jambi, sebagai orang yang cukup tau diri bahwa "modal" kami hanya sedikit petunjuk, kami tidak berniat menghabiskan waktu yang terbatas dengan berputar-putar salah jalan. Kami sempat berhenti menanyakan arah kepada sekumpulan Bapak-bapak penjual di deretan lapak berlampu menyilaukan yang tampaknya buka 24 jam. Pemandangan menarik kami temui ketika dalam temaram menjelang matahari terbit, kami melewati kebun-kebun yang silih berganti dengan pepohonan raksasa dan rumah-rumah panggung tradisional berwarna kayu menyembul di tengah kehijauan berkelebat di kiri kanan. Riuh kicau berbagai burung dan suara binatang entah apa menjadi ilustrasi yang sempurna untuk pemandangan pagi itu. Hmm, kayaknya damai banget tinggal di rumah seperti itu. Jauh dari hiruk-pikuk. Nyatu banget dengan alam. Sempat terbersit rasa berdosa karena kamilah yang mengusik kedamaiannya dengan deru motor kami. Tiba-tiba Bum bum bum! Sesosok hitam besar berkelebat menyeberang mengagetkan kami. Fyuh... babi hutan, yang saya yakin beratnya lebih dari setengah kuintal. Selingan kecil yang menyadarkan kami, hei, kamu beneran lagi di tengah hutan lho. Langit tembaga dengan awan-awan bertepi keemasan yang meloloskan berkas-berkas sinar matahari yang tampaknya mulai terbit, tidak mau saya lewatkan tanpa mengabadikannya sekalipun motor tetap melaju. Sambil terus memotret dan berusaha meresapi atmosfer damainya, pikiran saya melayang ke waktu sebulan sebelumnya, beberapa hari setelah kedatangan saya di Sepintun Jambi, ketika saya membaca sebuah posting yang menyebutkan tentang keberadaan sebuah komplek candi yang disebut terluas se-Asia. Awalnya saya kira itu Candi Muara Takus yang disebut-sebut di pelajaran sejarah waktu SD. Tapi setelah browsing-browsing, saya tidak hanya mendapatkan kenyataan bahwa ini candi yang berbeda, tapi juga fakta bahwa Candi Muara Takus ternyata bukan terletak di Jambi seperti yang saya tau selama ini. Kompleks Candi Muaro Jambi, dua puluh kali lebih luas dari Candi Borobudur, dan dua kali lebih luas dari Kompleks Candi Angkor Wat di Kamboja. Luasnya sendiri mencapai 2.062 hektar. Wow! Siapa yang gak penasaran? Mumpung lagi di Jambi, pengen juga sekalian ke sana. Sayangnya waktu itu tidak bisa segera dilaksanakan karena "terjebak" sebulan lebih di pedalaman karena jalan tanah merah sepanjang hampir 50 kilometer, satu-satunya akses keluar rusak parah karena diguyur hujan deras hampir tiap hari. Untunglah meskipun di pedalaman, dengan antena tinggi, kami bisa terhubung dengan dunia luar dengan jaringan dari salah satu operator CDMA yang tampaknya memang menyasar konsumen daerah pedalaman. Akhirnya saya cuma bisa browsing-browsing cari info untuk sedikit ngobati rasa penasaran saya. Matahari baru saja sempurna terbit ketika kami memasuki kompleknya. Rasa takjub langsung menyeruak ketika akhirnya menyaksikan sendiri candi-candi terletak menyebar di hamparan rumput hijau asri dan dikelilingi hutan dengan pepohonan raksasa yang entah berumur berapa puluh atau bahkan ratus tahun. Sebuah candi dari batu bata besar langsung terlihat begitu memasuki kompleksnya. Candi yang kemudian saya ketahui dari keterangan di lokasi bernama Candi Gumpung itu sepertinya belum utuh dipugar. Bagian atasnya seperti terpotong. Tak heran, dinamakan Gumpung, yang dalam bahasa setempat berarti terpotong. Candi utama berluas 17,5 x 18,5 meter persegi itu tampak gagah sekaligus anggun di tengah halaman seluas 150 x 155 meter persegi berumput hijau rata berbatas pagar dari bata setinggi betis hingga pinggang orang dewasa. Subhanallah. Indah, agung dan ada sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan, yang selalu saya rasakan setiap berada di sebuah tempat yang telah menjadi saksi sejarah dan melewati sekian kali pergantian tahun dan jaman. Perasaan yang membuat saya selalu bersemangat mengunjungi bagian kota lama, bangunan kuno/bersejarah di suatu tempat, atau bahkan museum. Tak sabar saya segera berlari kecil memasuki pelatarannya, tak peduli kaki-kaki yang jadi basah oleh embun yang masih tebal menyelimuti rerumputan. Candi Gumpung diduga berasal dari pertengahan abad ke-9 s/d permulaan abad ke-10 Masehi, ditemukan tahun 1820, dan baru dipugar pada tahun 1982-1988. Tak lama dari situ, kami pun segera melanjutkan ke Kolam Telagorajo yang letaknya tidak terlalu jauh. Untunglah kami naik motor, sehingga dalam waktu yang terbatas itu kami bisa segera melanjutkan ke Candi Tinggi I, Candi Tinggi, Candi Astano, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Candi Kedaton, melewati jalan selebar sekitar 1,5 meter yang telah diperkeras. Sebenarnya masih ada beberapa candi lain yang ditemukan dan sebagian sudah dipugar, yaitu: Candi Koto Mahligai, Bukit Sengalo, Degong I, Degong II dan Kembar Batu, juga Candi Teluk I, Teluk II, yang terletak di seberang Batanghari, namun tidak kami kunjungi. Tidak hanya karena terbatasnya waktu, namun juga tidak adanya petugas yang kami temui, karena mungkin masih terlalu pagi sehingga tidak ada yang bisa kami tanyai. Hanya beberapa orang lewat yang justru makin membingungkan kami karena memberikan informasi yang berbeda-beda. Candi-candi itu belum termasuk 80-an reruntuhan candi yang masih terkubur dalam gundukan tanah atau menapo dalam bahasa setempat, dan baru belasan yang mempunyai nama yang biasanya diberikan oleh masyarakat sekitar. Nama candi biasanya berasal dari nama menapo tempat candi ditemukan. Menapo-menapo tersebar dalam kebun-kebun milik warga setempat. Uniknya, menurut ahli, dahulu sistem transportasi utama menuju candi adalah menggunakan sampan melewati kanal-kanal, tak ubahnya seperti sistem di Venesia saat ini. Keberadan kanal selebar 6-10 meter yang menghubungkan antar candi dan melingkar-lingkar di dalam kompleks dan berhubungan langsung dengan Sungai Batanghari, adalah salah satu keunikan yang tidak terdapat dalam kompleks candi lain di Indonesia. Kanal Jambi, Melayu, Terusan, dan Parit Johor adalah empat kanal yang telah diberi nama. Disamping itu ada Danau Kelari, danau kecil yang menjadi penghubung antar kanal. Parit selebar 2-3 meter pun dibuat sekeliling candi untuk pembatas. Tak pelak lagi, sistem kanal dan parit ini adalah sebuah konsep planologi yang mengagumkan. Sayangnya banyak kanal yang masih tertimbun tanah, tertutup semak belukar, bahkan pemukiman penduduk. Salah satunya adalah kanal yang membelah Kampung Danau Kelari dengan Kampung Sungai Melayu yang telah tertutup pemukiman padat. Padahal kanal yang berujung di Sungai Batanghari itu menembus sampai ke Candi Gumpung, dan menyambung ke kanal lain yang melintasi Candi Kedaton, Gedong I dan Gedong II. Sayangnya dengan segala keunggulannya yang membuat takjub, ironi pun ikut menyeruak. Dari awal saya sudah gemas dengan minimnya informasi untuk obyek yang sedemikan mengagumkan. Informasi saya dapatkan kebanyakan dari internet, karena masyarakat Jambi sepertinya acuh. Saya tanya-tanya kepada meraka, sebagian besar tidak tahu tentang keberadaanya, alih-alih pernah berkunjung. Padahal kompleks candi yang terletak di Desa Danau Lamo, Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi ini hanya berjarak 35 kilometer dari Jambi Kota. Pemerintah daerah pun sepertinya kurang peduli, seolah kompleks ini hanyalah barang tidak penting yang semakin tenggelam dengan hingar bingar hajatan politik (kebetulan saya datang menjelang pilkada). Tidak terlihat adanya usaha yang signifikan untuk menggenjot publikasinya. Ketika akhirnya berkesempatan berkunjung pun ironinya justru makin mengental saat melihat kondisinya. Bahan candi yang terbuat dari batu bata sudah banyak yang keropos dimakan usia, berlumut kerak hitam dan penuh retakan. Apalagi candi ini sempat terkubur sampai akhirnya ditemukan oleh tentara Inggris, SC Crooke, tahun 1820, sehingga candi yang ditemukan sudah tidak dalam kondisi utuh, hanya bagian pondasi dan badan saja. Sementara bagian atas tak terlacak lagi. Pun tembok dan gapura yang mengelilingi candi hampir tidak berbekas. Hanya Candi Tinggi-lah yang bisa dibilang hampir utuh dari dasar sampai puncaknya. Para ahli mengakui bahwa sampai sekarang belum diketahui bagaimana desain bentuk bagian atas candi, dan masih terus mencari manuskrip yang berisi keterangan tentang kapan candi dibuat dan oleh siapa. Bahkan sejumlah candi seperti Candi Astano atau Kedaton belum berdampingan dengan bukti prasasti atau catatan sejarah lainnya. Kompleks candi Budha peninggalan Sriwijaya ini punya potensi besar untuk dikembangkan menjadi salah satu obyek wisata unggulan. Jika Anda peminat wisata sejarah, tak diragukan lagi, tempat ini mempunyai nilai historis yang sangat tinggi. Anda bisa berlama-lama di gedung koleksi yang menyimpan beberapa artefak yang ditemukan di sekitar candi. Sayangnya saya tidak bisa bercerita banyak tentang koleksi-koleksinya, karena saya belum berkesempatan untuk memasukinya sebab waktu saya datang masih terlalu pagi sehingga belum buka. Sebagai daerah wisata budaya, masyarakat sekitar yang budayanya tidak lepas dari keberadaan Sungai Batanghari pun pasti sangat menarik untuk untuk dikunjungi dan dikenal. Bagi peminat wisata alam, suasana sekitar candi yang asri, masih alami, relatif bersih dari polusi pun bisa menjadi pilihan tempat berkunjung yang bagus untuk dipertimbangkan. Anda bisa berjalan kaki mengunjungi candi-candi dalam keteduhan kebun-kebun durian, duku dan kakao. Waktu saya datang, meskipun bukan puncak musim berbuahnya, tapi saya menemukan banyak pohon duku berbuah cukup lebat dan jatuh berserakan. Saya sempat nyicipin dua butir. Manis banget. Sayang kalau cuma busuk dan jadi makanan ulat. :) Bagi peminat wisata petualangan, bisa mencoba datang ke kompleks ini lewat jalur air dari Jambi, sekaligus bisa mengunjungi Candi Teluk I dan II yang berada di seberang candi-candi utama lainnya. Apalagi menurut informasi, tahun 2010 ini banyak kanal akan dibuka dan difungsikan, sehingga bisa mengunjungi candi-candi menggunakan sampan. Atau Anda menyukai fotografi seperti saya? Percaya deh, Anda gak akan kehabisan obyek untuk diabadikan. :) Saya yakin dengan melengkapi kompleks ini dengan beberapa sarana penunjang (penginapan, tempat makan, dll), informasi yang memuaskan keingintahuan dan mudah diakses, publikasi yang terencana matang dan tepat sasaran, plus kemasan yang menarik, tempat ini bisa menjadi magnet baru industri pariwisata. Lagi-lagi setiap membicarakan tentang pariwisata Indonesia, berujung pada masalah klasik seputar: sarana, informasi dan publikasi yang minim. Indonesia bukan cuma Bali, Yogya dan Lombok. Banyak permata yang terbengkalai, menunggu "digosok". Pun Kompleks Candi Muaro Jambi ini. Ia adalah permata, sayang kilaunya teredupkan. Bukan karena lemah sinarnya, tapi karena "terselubung". Ayo singkirkan "selubung"-nya, gosok dan biarkan dunia melihat kilaunya. ********* Mas Ifoed baru saja menutup telepon, dan benak saya masih asyik dengan pikiran-pikiran tentang Kompleks Candi Muaro Jambi. Di ujung pembicaraan Mas Ifoed sempat menyelipkan "tantangan" untuk datang dan berkunjung lagi ke sana. Mengingatkan saya pada angan-angan saya untuk camping barang dua tiga hari di sana. Rasanya dua jam lebih kedatangan pertama saya, baru sedikit berkas kilau yang saya intip. Itu pun sudah memukau saya, Semoga kapan-kapan aku bisa menjawab tantanganmu Mas. Dan jika hari itu tiba, semoga entah seberapa banyak, sudah ada "selubung" yang tersingkir dan permata itu sudah lebih tergosok. Aku sudah siap dengan silau akan kilaunya. Ada yang berminat ikut tersilaukan? Foto-foto tentang Kompleks Candi Muaro Jambi, bisa dilihat disini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun