Mendengar kata “instan” mungkin kita langsung mengarah pada makanan yang sering dijumpai di rak dapur makanan, super market maupun pasar, yah apalagi kalau bukan sebungkus “mie instan”. Sebagian besar orang Indonesia bahkan dunia mengenal makanan yang satu ini, karena tidak butuh waktu lama untuk menyajikannya, rasanya enak dan harganya yang terjangkau. Tentunya membuat perut juga cepat kenyang. Hemmm tapi, apakah kita pernah menyadari bahaya dari makanan instan tersebut? Ataukah karena sifat acuh tak acuh kita sehingga kita tetap asyik menyantapnya tanpa mengkhawatirkan kesehatan kita dimasa yang akan datang?
Pada zaman sekarang, tentu kita tak asing lagi melihat, mendengar, memakai ataupun memakan sesuatu yang serba instan, baik dari makanan serba instan, minuman, dll. Mungkin sedikit aneh ketika saya menulis judul diatas. Apakah keterkaitan antara pendidikan dan mie instan? Yah kita tahu bahwa budaya instan telah merebak di seluruh dunia dalam segala hal. Kata “ instan” yaitu mau serba cepat dan tanpa usaha, sudah mempengaruhi pola pikir orang Indonesia khususnya. Memang terasa lebih nikmat ketika kita melakukan atau menghadapi sesuatu dengan cara instan dan tak harus bersusah payah melalui sebuah proses. Tetapi apakah kita pernah berpikir bahwa segala sesuatu yang dihasilkan tanpa proses maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Hal tersebut dapat terjadi, karena dalam melakukan atau menghadapi sesuatu kita tidak merasakan betapa nikmat dan bahagianya dalam melalui sebuah proses. Memang, ketika mendengar kata “proses” pikiran kita langsung terfokus pada sesuatu hal yang menyusahkan, ribet, harus bersabar karena dalam menjalankan sebuah proses dapat memakan waktu lebih lama ketika kita melakukan sesuatu. Nah, dengan pola pikir seperti itulah yang terkadang membuat orang benci dengan proses tapi suka dengan hal-hal yang bersifat instan.
Budaya instan dan suasana kompetisi kini sudah sangat mempengaruhi pola pikir dan perlakukan orang tua terhadap anak-anaknya. Orang tua menuntut agar anak-anaknya cepat untuk menguasai sesuatu dalam jumlah yang banyak dan lebih hebat daripada anak-anak lainnya, tanpa memperhatikan tahap perkembangan dan kemampuan anak di masa usianya. Seolah-olah semakin cepat menguasai sesuatu, maka semakin banyak dan maka akan semakin “hebat” seorang anak dimata orang tua. Padahal secara alamiah, kebutuhan, minat dan kepekaan mereka untuk mempelajari sesuatu membutuhkan proses, waktu yang cukup lama dan berbagai pelatihan yang sesuai dengan usianya, baik secara fisik maupun mental. Orang tua tidak lagi memikirkan dan memperlakukan mereka sebagai anak sesuai dunianya. Terkadang juga orang tua terlalu memaksakan kehendak kepada anaknya agar anak menjadi sesuatu yang sesuai harapan mereka dengan menuntut mereka berpikir, merasakan dan bersikap layaknya orang dewasa, tanpa memperhatikan keinginan dan kebutuhannya.
Sebagian orang tua terkadang lupa, bahwa pendidikan sejatinya dimulai dari sebuah keluarga. Pendidikan pada dasarnya adalah bertujuan untuk mengubah prilaku manusia ke arah yang lebih baik, bukan sekedar mentransfer ilmu yang dilakukan dalam sebuah lembaga pendidikan formal, Sehingga munculah berbagai tuntutan dari orang tua kepada anak dalam hal memenuhi prestasi akademiknya. Dalam hal ini, peran orang tua lah yang sangat penting bagi pendidikan anak-anak mereka. Bukan malah sebaliknya, menyerahkan lebih besar tanggung jawab pendidikan anak-anaknya kepada sekolah, sehingga terkesan bahwa orang tua tidak mau ikut andil dalam proses mendidik anak-anaknya. Nah, persoalan inilah yang menjadi akar permasalahan yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia, karena budaya instan inilah yang telah berpengaruh besar pada pola pikir para orang tua dalam hal pendidikan anak-anaknya.
Selain itu, banyak hal yang terjadi pada zaman globalisasi ini terkait dengan masalah pendidikan keluarga di Indonesia. Salah satunya yaitu pola pikir orang tua dalam hal materil. Para orang tua disibukkan dengan tugas mereka untuk mencari materi dibandingkan dengan mendidik anak-anaknya dalam keluarga. Orang tua berpikir bahwa anak-anaknya harus tercukupi secara materi agar anak-anak mereka hidup serba berkecukupan dalam tuntutan zaman yang serba modern ini. Nah, dengan pola pikir tersebut maka orang tua meyakini bahwa anaknya lebih membutuhkan materi dibanding kasih sayangnya. Dalam hal ini, tentunya tidaklah aneh ketika orang tua mengalihkan kewajiban mereka dalam mendidik anaknya kepada seorang pramuwisma. Yah memang karena pengaruh budaya serba instan inilah yang membuat semua permasalahan dapat terselesaikan dengan cepat, sekalipun dalam hal mendidik anak-anak mereka.
Zaman dulu, pramuwisma hanya bertugas sebagai pembantu dalam mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga saja, tapi fakta menunjukan bahwa pramuwisma saat ini dijadikan salah satu alat pendidik dalam mendidik anaknya di rumah. Naudzubillah, terlihat jelas bahwa orang tua menggangap pendidikan anak dalam lingkungan keluarga adalah sesuatu hal yang sepele karena dengan hanya menyiapkan uang beberapa lembar kertas maka persoalan dalam mendidik anak bagi mereka dianggap telah selesai. Apakah anak hanya dianggap seperti boneka yang bisa dititipkan dan dididik oleh siapapun yang tentunya tidak mempunyai kapasitas yang baik untuk mendidiknya? Lalu bagaimana dengan tugas orang tua dalam mengisi kekosongan batin anak-anaknya karena kurangnya perhatian dari orang tua?. Apakah orang tua selama ini menganggap bahwa uang atau materi lebih penting dari pada mengembangkan kualitas diri anak?. Lalu, bagaimanakah dampak dari pendidikan seperti ini jika terus dilakukan oleh para orang tua dan menjadi sebuah tradisi yang melekat dari masa ke masa kelak?.
Tak jauh berbeda, di dalam lingkungan sekolah pun budaya instan juga telah mempengaruhi pola pikir seorang guru dalam mendidik siswanya. Dalam hal ini, seorang guru menilai siswanya dari yang paling cepat ia katakan hebat, yang paling cerdas ia katakan juara dan yang paling terdepan ia katakan sempurna. Tentu jika hal tersebut dijadikan patokan seorang guru dalam hal menilai siswa, maka bagaimana nasib siswa yang lambat, kurang cerdas dan tertinggal? Bukankah tugas guru yang sebenarnya ialah mendidik siswa-siswanya agar berprilaku lebih baik dan menjadi manusia bermoral?. Seharusnya tugas guru ialah mendidik siswa untuk lebih bersabar dan dilatih untuk mengatur waktu dengan sebaik-baiknya bukan hanya membentak agar mereka bergerak lebih cepat, mendidik siswa dalam hal kesopanan bukan maju menjadi yang terdepan, mendidik siswa agar mereka peduli dengan lingkungan bukan mendidik mereka untuk hanya menjadi seorang juara dan juga mengasah skill yang ada dalam diri anak bukan hanya memberikan tumpukan berbagai materi pelajaran saja. Terkadang banyak hal yang secara tidak sadar dilakukan oleh seorang guru terhadap siswanya, yang secara tidak langsung hal tersebut akan berdampak pada pola pikir dan tingkah laku siswa yang terus melekat dalam ingatannya. Nah merujuk berbagai persoalan diatas, sudah sepatutnyalah kita sebagai calon orang tua ataupun orang tua mampu menjadi pendidik yang baik dan selalu berupaya dalam intropeksi diri agar pendidikan di Indonesia mampu melahirkan anak bangsa yang gemilang dan berkualitas. Maka, Mulailah sekarang juga, kalau bukan kita siapa lagi dan kalau tidak sekarang kapan lagi. Ada pepatah mengatakan “ jangan tanya siapa kita nanti, tapi tanyalah diri bagaimana saya sekarang”
By: Sri Muniroh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H