Membaca kembali Novel dengan latar sejarah abad ke 16-17 yang di padukan dengan catatan kebudayaan Halmahera (Maluku Utara) karangan Y.B Mangunwijaya. Dengan judul “Ikan Hiu ido, Homa” Serasa membawa kita masuk dan menyalami setuasi zaman itu, letak perkampungan pesisir Tobelo, teluk Kao, dan Buli “Dowingo-Jo”. Sebuah cerita bajak laut dan Perlawan atas kesultanan Ternate.
Kimalaha Keimad-Dudu kepala suku di tepi timur Teluk Kao kampong sungguh terkenal karena tukang-tukangnya yang ahli membuat sampan sampan dan perahu besar o julu julu hebatkan! “selain tershor dalam dalam keahlian perahu, tentu saja terkenal dengan membajak menjadi kebiasan kaum Nusa tak kenal takut di kawasan sana”.
Igobula yang mungil menjadi harta rampasan tatkala jung cina yang berlaya membawa guci-guci mangkuk-mangkuk proseli dari Kanton. Ya, dialah sang bajak laut Hiu Tujuh Lautan merampasnya. “Bapak dari Kiema-Dudu”, yang kelak menjadi kepala suku Dowingo-Jo dan di nikahkan dengan Igobula harta rampasan.
Karena Ke-molekan-nya Igobula, sering di panggil ibu-ibu setempat dengan sebutan Ara-Lule yang berarti bulan purnama. hasil rampasan bajak laut ini. Ya, dialah Igobula dengan warna kulit langsat dan semampai. Hingga ke-cadasa-nya menjadi prahara di balik cakrawala seibarat arumbai seram terbawa gelombang-gelombang musim utara.
menjadi buah bibir serta iri di kalangan istri dan gadis warga Dowingo-Jo, serta kegemaran-nya bermain pinang dengan paria dewasa sudah menjadi rahasi umum, Kiema-Dudu pun mengerti itu.
Dari kejauhan di pesisir Dowingo-Jo terlihatlah oleh Keima-Dudu di balik cakrwala sedaun layar, tiga perahu perang yang tak asing lagi menghampiri pesisir Dowigo-Jo, dan semakin dekat dengan panji khusus dan lambang terkenal yang di takuti pulau-pulau sekitar Halmahera. “Tanya diri Kiema-Dudu agak khawatir. Perahu dari Ternate sejenis juanga balang perang yang di pimpin dubalang benggol laut tersohor dia-lah Bahder Musang.
Kedatangan Bahder Musang sebagai utusan, membawa titah dari Yang Di Pertuan Agung Sultan Ternate Said Barakat Bin Babullah “Penguasa 72 Pulau”. Agar penduduk Dowingo-Jo setiakepada kerajaan Ternate, sengaja katasetia di beritekanan agak tinggi menadaskan lagi, bahwa seluruh kerjaan Jailolo “Tagalaya” ya Halmahera, termasung Dowingo-Jo sudah lama di taklukan oleh Ternate.
Namun kewibawaan dan keras kepala suku Tobelo tidak akan mudah begitu saja mematuhi titah Sang Sultan yang di sampaikan Si dubalang benggol Bahder Musang, justru ejekan Kiema-Dudu dengan perkataan-nya membuat sang utusan geram dengan getaran jiwa yang tersinggung nyaring melengking.
Penolakan atas titah di Pertuan Agung Ternate atas permintaan membuat juanga 2x150 tambah 50, kora-kora 2x40 tambah 20 dan 3 rorehe ini di kemudin hari menjadi petaka hingga luluh lantah Dowingo-Jo. Sekebali sang utusan “Bahder Musang” Kiema-Dudu dan warga Dowingo-Jo melakukan pesta duluku serta tarian dan nyajian rongga-rongga dopa-dopa sejak matahari tebenam sampai mabuk semalam suntuk, lalu tertidur pulas.
Berita tentang berlayanya iring-iringan kapal penuh harta yang di duga akan menjadi mangsa paling kaya dalam musim itu membuat orang-orang Dowingo-Jo lupa. Seolah-oleh kejayaan gemilang dalam pertempuran laut telah mereka raih. Ketidak awasan bercampur pesta saguer,pesta yang telah di siapkan kimalaha Kiema-Dudu ia adakan khusus untuk memberi semangat pertempuran besok menjadi akhir yang memiluhkan.
Dari kejauhan hanya tercium bauh amis darah yang mengalir di bawa angin, hingga ke hidung Leoma-Dara, terdengan pekikan orang-orang Dowingo-Jo di bantai habis tak tersisah. Tertinggal hidup Leoma-Dara dan seorang pemuda Dowingo-Jo, Ya, dia Mioti anak dari otirima tukanga Maleha-Lamo. Yang sangat di segani dalam keahliannya membuat perahu di Pantai Kao sanpai teluk Buli.