Perubahan iklim yang diakibatkan adanya pemanasan global (global warming) merupakan isu yang menjadi pembahasan serius pada pengujung abad ke-20. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kesadaran akan bahaya laten dari permasalahan tersebut. Penyebab pemanasan global yaitu akibat dari akumulasi gas rumah kaca yang sebagian besar dihasilkan oleh industrialisasi, penggunakan energy fosil, transportasi, kebakaran hutan, dan deforestrasi. Â Berdasarkan hasil perhitungan, konsentrasi CO2 Â di atmosfer bumi mencapai 750 gigaton karbon per tahun (Gtc/th). Jelas bahwa kontribusi manusia sangat besar. Bukan apa-apa, di bidang transportasi udara misalnya, kadar karbon yang diemisikan ke atmosfer mencapai 5,5 Gtc/th.
Studi yang dilakukan oleh National Academy of Science Amerika (1989) memperkirakan bahwa pada tahun 2100 kenaikan muka air laut berkisar antara 0,3 sampai 2 m. Berdasarkan data peningkatan suhu permukaan laut dan pencairan es di daerah kutub, International Panel For Climate Change, IPCC (1990) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun dihitung mulai tahun 1990 muka air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm.
Hal yang terjadi akibar dari perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut adalah perubahan fisik lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain berupa intrusi air laut ke darat, gelombang pasang, banjir, kekeringan, genangan di lahan rendah, dan erosi pantai sehingga berimbas ke segala sector kehidupan dan penghidupan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Hasil penelitian menunjukan, pesisir Indonesia mengalami abrasi dengan laju rata-rata 1,950 Ha/tahun atau total lahan terabrasi selama 15 tahun mencapai 29,261 Ha. Panjang rata-rata pantai yang terabrasi setiap tahun adalah 420 km, sehingga total estimasi panjang pantai yang terabrasi dalam 15 tahun mencapai 6,306 km. Selain abrasi, kondisi pantai Indonesia juga mengalami sedimentasi baik yang terjadi secara alamiah maupun buatan dengan laju akresi 895 Ha/tahun atau total lahan timbul selama 15 tahun mencapai 13,433 Ha. Dari perbandingan laju akresi dengan abrasi didapatkan laju restorasi kawasan pesisir selama tahun 2000-2014 sebesar ~46%.
Belajar dari Pesisir Utara Kabupaten Demak
Kabupatan Demak memiliki panjang pantai 34.1 km dengan alokasi ruang pesisir umumnya digunakan untuk tambak dan sebagian kecil untuk pemukiman. Kerusakan pesisir Demak, khususnya Kecamatan Sayung, dimulai dari sisi barat yang berbatasan dengan kawasan industri Terboyo, Semarang. Citra satelit lintas waktu memperlihatkan dengan jelas bahwa pembangunan kawasan industri tersebut dengan jalan mereklamasi bekas lahan tambak menjorok ke laut berpengaruh sangat signifikan dalam proses abrasi yang terjadi di Kecamatan Sayung. Analisa citra satelit diatas telah menyebabkan kemunduran garis pantai setidaknya 76.49 m per tahun yang menyebabkan hilangkanya lahan tambak dan mangrove seluas 139.76 Ha dari tahun 2004.
Di lokasi lain, gejala abrasi juga terlihat di Desa Purworejo dan Babalan di bagian utara-timur Kabupaten Demak yang berbatasan dengan Kabupaten Jepara. Di lokasi ini proses abrasi lebih dominan disebabkan oleh proses alam seperti pengaruh arus dan gelombang. Tahun 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan merencanakan membangun struktur HE untuk menanggulangi dari awal potensi abrasi di Desa Babalan dan Purworejo agar tidak meluas dan lahan yang sudah terabrasi dapat segera pulih. Mengacu kepada kebutuhan lahan yang terabrasi, di Desa Purworejo dibangun struktur HE sepanjang 1200 m dengan panjang tiap segmen bervariasi 50 dan 100 m. Untuk Desa Babalan, dibangun struktur HE dengan panjang 2300 m untuk panjang segmen homogen 100 m dengan jarak antar segmen ~25 m untuk melindungi bentang pantai sepanjang ~ 3 km.
Hasil Program BWN dari Wetlands International Indonesiadengan menggunakan struktur HE di Desa Bedono cukup menggembirakan, hasil pengukuran sedimen pada bulan Februari 2017 ketinggiannya sudah mencapai 57 CM. Di Desa Bedono sendiri sudah dibangun 11 titik lokasi HE dengan panjang secara keseluruhan mencapai 750 M
Building with Nature : Konsep Baru Restorasi Pesisir di Indonesia
Secara alamiah, ekosistem pesisir seperti mangrove memiliki beberapa fungsi seperti akar untuk mengikat sedimen untuk kasus pantai dengan material dominan lumpur sehingga mengurangi dampak pengikisan akibat aksi gelombang. Batang mangrove dengan kerapatan tinggi berfungsi untuk mengurangi atau meredam energi gelombang sehingga dampak hempasannya tidak signifikan dalam memperngaruhi dinamika angkutan sedimen di kawasan pesisir. Ketika barrier alami tersebut hilang ada beberapa opsi dalam perlindungan kawasan pesisir misalnya menggunakan opsi struktur keras/beton (grey structure), opsi gabungan antara struktur keras dan struktur alami (green-grey structure) dan opsi struktur alami murni (green structure). Untuk pendekatan alami, pendekatan dengan memanfaatkan proses alam dikenal juga dengan istilah Building with Nature (BwN) atau Membangun dengan Alam. Artinya, memanfaatkan proses-proses alam dalam optimalisasi fungsi struktur atau rekayasa dalam memulihkan kawasan yang rusak. Sejak tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan menerapkan prinsip BwN dalam upaya rehabilitasi ekosistem di kawasan pantai utara Jawa dan di beberapa tempat lainnya di luar Jawa.
Rekayasa ekosistem yang dilakukan dinamakan Hybrid Engineering (HE) dengan membangun struktur lolos air (permeable structure) dari bahan bambu dan ranting kayu. Prinsip utama dalam struktur HE adalah membuat 'jebakan' sedimen di kawasan pesisir yang terabrasi. Pada saat pasang, gelombang datang dengan material lumpur (suspended material) akan terbawa ke belakang struktur dan pada saat surut material lumpur tersebut tersimpan atau terkumpul di belakan struktur HE. Dalam waktu tertentu, lumpur di belakang struktur HE tersebut akan mengisi kembali bagian pantai yang ter-abrasi. Prinsip penting yang perlu dipahami dalam imlementasi struktur HE adalah struktur ini bukan berfungsi sebagai alat penahan ombak (APO), tetapi sebagai sediment trapping atau jebakan sedimen yang mereplikasi fungsi akar mangrove dalam kondisi ideal. Komponen dari struktur HE terdiri dari 2 pagar bambu yang dibangun sejajar dengan jarak 0.4 -- 1.0 meter. Pagar bambu dibangun dari susunan bambu yang dipancangkan di dasar laut sampai batas sedimen keras dengan jarak antar bambu ~0.25 m. Tergantung kriteria kestabilan struktur yang diinginkan, susunan bambu pancang bisa diperkuat dengan bambu pangikat yang dipasang melintang melewati 10 -- 20 batang bamboo.
Ruang diantara pagar bambu diisi dengan ranting pohon berserat seperti ranting jati, mahoni atau ranting karet dengan diameter besar dari 3 cm tetapi tidak terlalu besar agar susunan ranting bisa maksimal dalam menangkap sedimen. Pengisian ranting dilakukan secara bertahap dimana ranting pada lapisan dasar laut harus masuk setidaknya ~0.5 m di di bawah lumpur lunak. Susunan ranting akan mengalami penyusutan setelah 1-3 hari berada di dalam pengaruh air laut sehingga ranting harus ditambah sampai ketinggian yang cukup.
Dalam kondisi sempurna, struktur HE dapat dengan cepat mengembalikan sedimen di kawasan yang terabrasi. Hasil pengamatan di lapangan dalam tiga bulan pertama setelah struktur HE selesai dibangun berkisar antara 0.1-0.5 m perbulan. Hasil sedimentasi di belakang struktur HE juga tergantung pada musim. Sedimentasi yang terjadi pada musim barat (hujan) cenderung lebih besar dibandingkan sedimentasi yang terjadi di musim di musim timur (kemarau). Proses sedimentasi yang terjadi dalam waktu relatif singkat belum bersifat padat atau permanen. Sehingga tanah timbul tersebut harus tetap terlindungi oleh struktur HE dengan kondisi prima dan (jika memungkinkan) ditanami mangrove untuk memberikan penguatan dan pamadatan lumpur oleh akar mangrove. Tanah timbul yang muncul dari hasil sedimentasi di belakang struktur HE di beberapa daerah berpotensi untuk menimbulkan masalah dalam aspek legal seperti kepemilikan dan pengelolaan. Hal ini membutuhkan kesepakatan dengan masyarakat penerima manfaat dan juga para pemilik sertifikat tanah sebelumnya agar pemanfaatan tanah timbul setelah direhabilitasi tidak lagi mengacu pada pemanfaatan lahan sebelumnya.