Mohon tunggu...
Baharuddin Riqiey
Baharuddin Riqiey Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Contempt of Constitutional Court

2 Januari 2023   08:03 Diperbarui: 17 Februari 2023   10:51 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengabaikan perintah putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu penghinaan terhadap lembaga tersebut (contempt of constitusional court). Hal itu yang dilakukan oleh Presiden dengan cara menerbitkan Perppu tentang Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi hanyalah memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan. Memperbaiki yang di maksud adalah dengan cara menyesuaikan kembali persyaratan formil dalam proses pembentukan Undang-Undang.

Persyaratan formil yang harus diperbaiki yakni; Pertama, melibatkan kembali masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukan Undang-Undang. Partisipasi publik yang bermakna setidaknya harus memenuhi tiga syarat yakni; hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Kedua, menggunakan metode pembentukan Undang-Undang sesuai dengan apa yang dianut didalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebab metode yang digunakan oleh UU Cipta Kerja adalah metode Omnibus, yang mana metode Omnibus tidaklah dikenal dalam UU P3 (sebelum dilakukan perubahan kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011).

Kini perintah Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki UU Cipta Kerja hanyalah dengan cara mengadopsi metode Omnibus dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (vibe Pasal 64 ayat (1a) dan (1b) UU No. 13 tahun 2022). Akan tetapi perintah Mahkamah Konstitusi kepada pembentuk UU untuk melibatkan partispasi publik dalam pembentukan tidaklah dihiraukan, justru pembentuk UU mencari jalan pintas yang tidak sesuai dengan perintah putusan dengan cara Presiden menerbitkan Perppu tentang Cipta Kerja. Hal ini yang dinamakan pembangkangan terhadap putusan MK dan juga telah melakukan penghinaan terhadap MK (contempt of constitusional court).

Menurut Simorangkir dalam bukunya "Hukum dan Konstitusi Indonesia" halaman 109-113, menyebutkan ada tiga alasan DPR menolak Perppu yaitu; 1. karena berbeda pendapat mengenai ada tidaknya faktor "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa", 2. Karena tidak dapat menyetujui isi pasal-pasalnya, atau 3. Kombinasi antara point 1 dan 2. Dengan ini untuk menjaga marwah dari Mahkamah Konstitusi dan untuk menjaga konsep negara hukum yang kita anut, Penulis berharap kepada DPR selaku lembaga yang berwenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu yang dibuat oleh Presiden untuk menolak atau tidak menyetujui Perppu tentang Cipta Kerja dan Perppu tersebut harus dicabut (vibe Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun