Mohon tunggu...
Bahar Maksum
Bahar Maksum Mohon Tunggu... profesional -

Sejak masih kuliah di IAIN Sunan Kalijaga mulai menekuni dunia jurnalistik. Mulai sebagai wartawan Tablboit Exponen, Harian Pelita, lantas ke Jawa Pos, kemudian pindah ke Media Indonesia dan sekarang menangani majalah internal Realita Haji dibawah Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ketika Pemerintah Tidak Sensitif

6 Januari 2014   03:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenaikan harga gas LPG 12 kg yang diumumkan serta merta oleh Pertamina, telah memicu kericuhan di berbagai media dan masyarakat luas. Padahal rencana ini udah disampaikan oleh Pertamina kepada Menteri ESDM Jero Wacik dalam proposalnya pada Mei 2013 yang lalu dengan tembusan ke beberapa kementerian terkait, termasuk Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menteri Keuangan, tentunya kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan sebagai pemegang saham perusahaan pelat merah tersebut.
Rupanya proposal itu sama sekali tidak mendapat perhatian dari menteri yang bertanggungjawab dalam persoalan migas tersebut serta menteri-menteri lainnya, kecuali Dahlan Iskan yang mengakui adanya proposal tersebut. Menteri-menteri yang lain tidak memberikan perhatian atau respon atas proposal permohonan rencana kenaikan harga gas tersebut.
Pertamina sendiri mengajukan proposal itu, selain karena sudah mengalami kerugian yang begitu besar sejak terakhir dinaikkannya pada 2009 hingga Rp 22 trilyun, juga ada desakan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) agar Pertamina segera menyesuaikan harga LPG agar kerugiannya tidak semakin membengkak. Sampai akhirnya berlangsung Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina pada 30 Desember 2013 yang memutuskan adanya kenaikan harga tersebut.
Dari perjalanan rencana tersebut, jelas Pertamina tidak tiba-tiba menaikkan harga gas yang mengagetkan tersebut. Cuma ketika hal itu dilontarkan kepada publik, aneh sekali para Menteri Kebinet Indonesia Bersatu (KIB) II, termasuk Wapres Budiono dan Presiden SBY mengaku tidak tahu menahu.
Rupanya, bagi penguasa di negara ini perjalanan waktu dari suatu rencana yang dirintis dalam jangka waktu tidak sampai satu tahun, dianggap tidak ada. Atau mereka sudah pikun semua, sehingga ketika keputusan itu diambil oleh Pertamina, semuanya kaget dan mengaku tidak tahu menahu. Hanya Menteri BUMN Dahlan Iskan yang dengan gentle mengakui adanya proposal itu dan kemudian mengakuinya dirinya yang salah....
Begitu rupanya administrasi negara ini, amburadul. Atau memang sengaja mereka ingin menjerumuskan Pertamina? Sampai Wapres dan Presiden pun mengaku tidak tahu. Benar-benar keterlaluan. Itu semua jelas menunjukkan, tidak adanya sensitifitas dari pemerintah pada kepentingan rakyat banyak, walau konsumen LPG 12 Kg tersebut kalangan pengusaha dan masyarakat kelas menengah atas.
Padahal,  penentuan harga gas LPG 12 kg yang non subsidi itu, sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pertamina, termasuk pemegang sahamnya dari pemerintah yang diwakili Menteri BUMN Dahlan Iskan, sehingga wajar kalau kemudian Pertamina mengumumkannya sendiri secara langsung adanya rencana kenaikan harga gas tersebut.

Pahlawan Bertopeng
Seperti disebutkan di atas, karena LPG 12 kg ini tidak mendapat subsidi dari pemerintah, maka penentuan harganya memang menjadi otoritas perusahaan, dalam hal ini Pertamina. Hanya saja, karena kenaikan harganya cukup tinggi, sekitar 60% dari harga sebelumnya, maka inilah yang memicu adanya berbagai sorotan negatif atas langkah Pertamina tersebut.
Padahal, konsumennya, bukan masyarakat kebanyakan, tetapi kalangan pengusaha dan masyarakat menengah atas. Mestinya, adanya kenaikan itu, tidak begitu jadi masalah.
Tetapi yang lebih menghebohkan, tentunya karena politisasi atas kenaikan tersebut. Di sini para politisi banyak berkepentingan untuk tampil sebagai pahlawan kesiangan yang bertopeng sebagai pembela rakyat, memanfaatkan keadaan tersebut. Maklum, yang berhubungan langsung dengan Pertamina adalah Menteri BUMN Dahlan Iskan sebagai pemegang saham perusahaan pelat merah tersebut.
Kenapa Dahlan Iskan? Karena menteri itulah yang selama ini sama sekali tidak bisa diajak kompromi oleh para politisi di DPR yang maunya kekayaan perusahaan-perusahaan pelat merah binaannya dijadikan bancakan seperti sebelum-sebelumnya saat sebelum dirinya sebagai Menteri BUMN.
Di samping itu, kebetulan mantan Dirut PLN itu sekarang menjadi peserta Konvensi Capres Partai Demokrat yang sekarang elektabilitasnya paling tinggi dibandingkan dengan peserta konvensi lainnya.
Hal ini, jelas dia harus dilawan bersama-sama, baik sesama peserta konvensi atau pun dari capres lainnya, bahkan para politisi yang sekarang sedang ngemis-ngemis kepada masyarakat agar memilih dirinya pada Pemilu April nanti atau pada Pilpres nantinya, juga akan memanfaatkan keadaan ini untuk menjatuhkan kredibilitas menteri yang sederhana dan sangat egaliter tersebut.
Terlepas dari itu semua, menyangkut masalah kenaikan harga gas yang menyangkut hajat orang banyak, meski konsumennya terbatas kelompok masyarakat menengah atas, (tetapi berdampak juga kepada masyarakat luas), mestinya pemerintah sensitif pada perasaan masyarakat, sehingga kebijakannya tidak menghebohkan.
Dalam hal ini, Pemerintah, terutama Pertamina sebagai pihak yang paling berkepentingan, mestinya mensosialisasikannya terlebih dahulu, sehingga masyarakat luas bisa memahami, bahwa adanya kenaikan harga gas tersebut sebagai suatu keniscayaan. Toh reasoningnya sangat kuat, mulai dari adanya kenaikan harga terakhir hingga saat ini yang sudah sekitar 4 tahun, kerugiannya sangat tinggi, yakni Rp 22 triliyun, adanya desakan dari BPK, gas ini bahan bakunya juga impor menggunakan devisa, dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar kini melampau Rp 12.000,-/USD.
Ada ide menarik yang dilontarkan pengamat ekonomi Ichsanudin Noersyi dalam dialog di TV One kemarin sore. Dia menyarankan, sebaiknya Indonesia mengalihkan penggunaan LPG ke LNG. Sekarang ini Pertamina impor LPG dari Aramco (Arab Saudi) hingga sekitar 70% untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal, Indonesia memiliki bahan baku LNG sangat besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tiongkok saat ini berbahasil melakukan migrasi dari penggunaan LPG ke LNG untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya yang berjumlah sekitar 1,4 milyar.
Saya pikir, ide tersebut perlu dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dan Pertamina, jika mereka memang serius memikirkan rakyat Indonesia. Tetapi, jika melihat pada berbagai kasus selama ini, para penguasa kita memang senangnya impor impor dan impor terus. Karena, dengan impor berarti akan ada fee fee fee yang bisa menjadikan kantongnya tebal. Lihat saja mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, hanya dengan membela PT. Indoguna Utama agar mendapatkan jatah impor daging hingga 8 juta kg, dijanjikan akan dapat Rp 5.000,-/kg atau Rp 40 milyar bok....
Pejabat kita pada umumnya kayak Luthfi yang sekarang divonis 16 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor akhir tahun 2013 lalu...... Ayo siapa pejabat negara dan politisi yang mau nyusul Luthfi Hasan Ishaaq?????

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun