Ada ide menarik disampaikan teman-teman kaitan dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang dinilainya penuh kecurangan. Mereka melontarkan idenya setelah membawa postingan saya pada 1 Mei yang lalu.
Mereka mengatakan, sebaiknya hasil rekap di TPS (Tempat Pemungutan Suara) langsung dikirim ke KPUD Kabupaten/Kota untuk menetapkan para calon anggota DPRD setempat, atau KPUD Provinsi hingga ke KPU Pusat. Karena rekapitulasi tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan, tidak ada signifikansinya, kecuali hanya memperpanjang birokrasi yang sekaligus bisa membuka pencurian-pencurian suara oleh para petugas yang berwenang. (Seperti yang saya posting pada 1 Mei di wall saya)
Kenapa rekap dari TPS itu harus langsung dikirim ke KPU, KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota? Ternyata, alasannya cukup rasional, bahwa hanya perlu waktu satu atau dua hari, semua jenjang KPU itu bisa langsung melakukan rekapitulasi langsung, sehingga hasil KPU tersebut bisa lebih cepat diputuskan.
''Jadi, rekap hasil penghitungan suara di TPS yang ditulis di atas kertas plano, bisa langsung difoto atau discan, selanjutnya bisa dikirim via email atau media lainnya yang bisa langsung sampai ke KPU-KPU tersebut. Jadi, tidak bertele-tele seperti selama ini,'' ujarnya.
Dengan demikian, KPUD Kabupaten/Kota bisa langsung merekap hasil pemungkutan suara tersebut hingga bisa menetapkan anggota DPRD setempat. Demikian juga KPUD Provinsi melakukan hal yang sama hingga ke KPU. Ini jelas sangat efisien yang akan menghemat anggaran yang cukup signifikan.
Untuk itu, UU Penyelenggaraan Pemlu yang ada, harus segera direvisi. Sehingga penyelenggaraan Pemilu bisa lebih simple dan tidak bertele-tele. ''Ini tantangan bagi anggota DPR yang baru terpilih. Kalau mereka berpihak kepada rakyat, revisi itu bisa langsung mereka kerjakan,'' tambahnya.
Saya pikir ide itu sangat bagus. Pencurian suara, pasti akan bisa dihindari. Hasilnya bisa cepat diketahui. Dan, yang paling penting, biayanya juga bisa ditekan atau biaya tersebut bisa digunakan untuk menyediakan saksi-saksi menggunakan APBN.
Pada sisi lain, memang akan banyak tenaga-tenaga PPS dan PPK serta Panwaslu desa dan kecamatan akan tergusur. Tetapi ini tidak masalah, karena itu konsekuensi debirokratisasi penyelenggaraan Pemilu.
Ada juga ide e-voting, atau pemberian suara melalui elektronik. Ide ini sebenarnya bagus. Cuma, masalahnya sebagian besar masyarakat kita masih banyak yang belum melek teknologi. Kalau e-voting harus dibantu oleh tenaga atau petugas, sulit dipercaya mereka akan amanah sesuai harapan pemilik suara. Ini bisa untuk janka panjang, dengan catatan sosialisasi untuk e voting perlu dilakukan sejak sekarang.
Gimana para sahabat kompasianer melihat ide tersebut????
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H