Mohon tunggu...
Bahar Maksum
Bahar Maksum Mohon Tunggu... profesional -

Sejak masih kuliah di IAIN Sunan Kalijaga mulai menekuni dunia jurnalistik. Mulai sebagai wartawan Tablboit Exponen, Harian Pelita, lantas ke Jawa Pos, kemudian pindah ke Media Indonesia dan sekarang menangani majalah internal Realita Haji dibawah Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi 1998 Belum Tuntas, Hubungan Sipil-Militer Harus Demokratis

24 Juni 2014   03:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:25 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Minggu, 22 Juni 2014 saya ketemu Raktor UPN Veteran Jakarta, Dr. Koesnadi Kardi, MSc, RCDS. Jenderal bintang 2 Purnawirawan TNI AU ini punya ide yang sangat menarik.

''Reformasi 1998, belum tuntas dan sekarang reformasi saatnya yang tepat untuk disempurnakan. Hubungan Sipil-Militer harus demokratis,'' katanya.

Cukup mengagetkan juga saya mendengarnya. Bayangkan, seorang jenderal TNI AU, walau sudah purnawirawan, mengatakan dengan tegas, bahwa Reformasi 1998 belum tuntas, terutama dalam hubungan Sipil-Militer.

Dan, yang lebih mengagetkan lagi, menurutnya, justru reformasi yang belum tuntas itu menyangkut keberadaan TNI dan Polri. ''Di negara-negara maju, yang demokrasinya sudah maju dan mapan sipil itu harus memimpin institusi pertahanan. TNI dan Polri harus berada dibawah pimpinan sipil sebagai institusi politik,'' tegasnya.

Dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor di UI, Koesnadi mengupas masalah hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Menurut hasil analisanya, bahwa Reformasi 1998 seharusnya dituntaskan dengan menyelesaikan hubungan sipil-militer secara demokratis untuk mendukung pendewasaan berpolitik.

Dia mencontohkan, seperti Kementerian Pertahanan yang sejak Repormasi 1998 sudah dipimpin oleh sipil. Tetapi,  hanya Menterinya yang sipil.

''Sedangkan pejabat eselon I, II hingga ke bawahnya, tentara semua. Bahkan wakil menterinya juga tentara. Kondisi itu tidak menjadikan pertahanan itu sebagai institusi politik sipil. Ini masalah serius, jika kita ingin menuntaskan Reformasi 1998 dan menjadikan demokrasi politik kita semakin dewasa, TNI - Polri harus dibawah pimpinan sipil,'' tegasnya.

Mendengar penjelasan itu, saya semakin penasaran, bagaimana bentuk konkretnya? Koesnadi mengatakan, sebenarnya semua itu tergantung Presiden dan Kabinetnya. Bahkan, dalam kasus Kementerian Pertahanan, seorang menteri sangat menentukan.

''Seorang Menteri Pertahanan, punya otoritas untuk menata kementeriannya. Sejak Reformasi 1998, Menteri Pertahanan dari sipil. Tetapi, dia sendiri yang sipil dan dia tidak berani merombaknya. Mestinya, pejabat-pejabat bawahannya dari sipil juga. Wamennnya sipil, pejabat Eselon I, II hingga III, seharusnya sipil juga,'' tegasnya.

Koesnadi mengakui, Menteri Pertahanan sejak reformasi, mulai dari Juwono Sudarsono, lantas digantikan Mahfud MD, Mathori Abdul Djalil dan kini Poernomo Yusgiantoro, semua orang baik.

''Sebagai orang baik, mereka hanya ikut keinginan penguasanya. Mereka tidak punya keberanian untuk melakukan perubahan, walau hanya sekecil apa pun. Apalagi perubahan mendasar. Memang begitu orang baik dan akan dipelihara oleh atasannya,'' tegas Koesnadi yang mantan instruktur penerbang pesawat tempur itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun