Suatu hari, seorang pemuda dari desa terpencil datang ke kantor Raka. "pak, tolong tulis cerita kami. lahan kami digusur untuk pembangunan yang tidak pernah selesai. kami kehilangan rumah!" Raka menatap pemuda itu, matanya kosong. "Maaf, ini bukan prioritas redaksi," jawabnya dingin.
Namun, suara pemuda itu terus menghantui. Setiap malam, ia mendengar jeritan itu menggema di kepalanya. Tapi dia terlalu takut untuk melawan. Darma punya koneksi ke segala penjuru---pejabat, polisi, bahkan preman jalanan.
Kantor Raka semakin penuh dengan hadiah---jam tangan mahal, voucher liburan, hingga mobil baru. Semua itu diberikan oleh tim Darma sebagai bentuk "terima kasih" atas kontribusinya membentuk citra sang bupati.
Di tengah gemerlap hadiah itu, Raka teringat masa-masa awalnya menjadi jurnalis. Dia dulu adalah orang yang menulis dengan darah dan air mata, seorang pengabdi kebenaran yang tak gentar pada ancaman. Kini, dia hanyalah seorang narator kebohongan.
Ketika Darma memutuskan mencalonkan diri untuk periode kedua, Raka diberi tugas besar. "Kamu harus membuatku terlihat seperti dewa," perintah Darma dengan nada meremehkan. Raka tersenyum getir, karena itulah yang selama ini dia lakukan.
Kampanye penuh janji manis bergulir. Di layar televisi, Darma tampil sebagai penyelamat daerah, menyeka air mata seorang nenek tua dalam video yang sebenarnya telah diatur sedemikian rupa. Raka tahu semua itu palsu, tapi dia tetap menulis naskah kampanye tanpa ragu.
Hari pemilihan tiba. Darma menang telak. Sorak-sorai kemenangan terdengar, sementara di sudut kota, para petani menggigil dalam kedinginan tanpa rumah yang dijanjikan.
Malam itu, Raka berdiri di balkon rumah mewahnya, menatap kota yang tenggelam dalam gelap, kecuali area kantor bupati yang dipenuhi lampu sorot megah. "Apakah ini harga dari kemewahan?" pikirnya. Tapi seperti biasa, dia mengalihkan pikirannya dan meneguk anggur merahnya.
Namun, karma bekerja dengan cara yang tak terduga. Sebuah investigasi besar dari jurnalis independen akhirnya membongkar korupsi besar Darma. Seluruh jejaknya, termasuk berita-berita palsu yang ditulis Raka, menjadi bukti.
Di ruang sidang, Darma dijatuhi hukuman penjara. Raka, meskipun tidak dihukum secara hukum, kehilangan kredibilitasnya. Tak ada yang mau membaca tulisannya lagi. Dia kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu, seorang penulis yang kehilangan suara, tenggelam dalam penyesalan yang tak berujung.
*Oleh: Martono (Redaktur Pelaksana suarabahana.com).