I
Sepotong kertas, layu. Mengalir pasrah terbawa arus kecil. Menumpuk takberaturan pada lubang-lubang parit. Yang di sela-selanya anak katak riang bermain riak.Â
Ada seutas rumput kecil. Erat menancap pada induk akarnya. Dan hijau daunya perlahan luntur tertutup lumpur. Dia tak lagi menyangga benang laba-laba. Yang dititipkan kepadanya kemarin; sebelum subuh menyapa. Masih diingatnya pagi tadi, ketika benang-benang itu menangkap butiran embun yang lebut, dan fajar hangat menyihirnya menjadi gumpalan-gumpalan warna; kristal namanya. Â Â
II
Tak terlihat lagi; tarian mendung di atas sayap ranting pohon, sore ini. Hanya lembaran sayap kupu-kupu yang rapuh, bersimpuh dibalik daun dan bunga pohon. Saling berjejer membentuk lautan sutera. Menemani warna senja yang tebal dan semakin pucat ditelan pekat malam yang semakin dekat. Sementara tetesan hujan yang kasar terus mengkoyak perut bumi.Â
III
Terselip senyum kecil. Melintas sekilas di balik caping. Pada sepotong muka yang kasar dan setengah terbakar matahari siang tadi. Dia tengah bersandar pada sebatang kayu lapuk. Yang seolah lelah menyangga gubuk mungil tepat di pinggir sebuah kali. Sambil beberapa kali menikmati kretek yang setia menemani bibirnya yang kering itu. Hujan membuat mimpinya akan semakin indah.
IV
Aku masih sibuk. Mengumpulkan larik-larik mantera, yang sesaat lalu samar terhapus rintik. Karena memang waktu itu, aku hanya mengukirnya dengan ragu-ragu. Tentang indah, terkait suka, ada juga pahit dan bahkan umpat kurangkai semua. Dan sore ini, hujan telah meyakinkanku[].Â
*BagusWic
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H