Baginya, sore hari adalah saat paling indah. Karena tepat di situlah dia bisa meraih mimpinya. Pada kaki bayang-bayang beton. Yang perkasa merobek langit-langit senja. Dan parit sempit yang menghasilkan pengap yang padat. Membuat hari-harinya serasa lebih panjang.Â
Dia berkelit lincah. Mengikuti hembusan angin yang tak berirama. Terkadang dia mencipta denyit. Beberapa saat hal itu terulang, dan seringkali membuat kumpulan bocah di sanah gelisah. Ditungguinya denyit itu. Diulang. Lalu ranting kecil menampar daun kertas. Dan bocah-bocah itu kalang kabut. Lepas. Tertawa penuh puas.Â
Malam hari pun begitu. Lampu-lampu toko membuatnya berwibawa. Sepintas lalu, dia menjelam dalam warna merah yang pekat. Dia bagai kumpulan serangga Lepidoptera. Meliuk indah. Dengan warna merahnya yang tebal, menyelimuti hutan rumput. Menyulapnya menjadi lapangan cahaya.Â
Namun dia selalu menghindari pagi. Karena sejuknya adalah petaka baginya. Dan embun itu adalah becana. Karena, pesonanya tak pernah bisa melihat dua kali mentari[].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H