Temanku adalah Belalang. Aku bertukar mimpi dengannya. Satu-persatu kami susun sebuah negeri dengan larik-larik imaginasi, yang kami sebut itu indah.Â
Konon, ayahnya adalah matahari. Yang pada waktu itu dia bersahabat dengan senja. Mereka selalu menari pada pucuk-pucuk ilalang yang tajam. Di sore hari yang hangat. Sambil berulang menyanyikan puisi-puisi tentang angin dan sepotong awan yang putih. Kenangan itu masih tersimpan rapi pada terjal. Yang terkadang dibacakan silih berganti oleh kupu-kupu. Namun sepenuhnya aku sangsi. Karena belalang tak ubahnya sejuk bagiku.Â
Belalanglah yang mengenalkan aku dengan cinta. Waktu itu, saat dingin yang jahat merobek selimut mimpiku, aku menyumpah. Kutebarkan kata-kata sampah, sampai seperti sebuah bencana. Serupa dengan merah bara kawah dari 7 gunung api. Atau luapan berjuta-juta kubik lumpur darah. Yang sangat menakutkan, sampai tak ada satu binatangpun yang berani menyudahi tangis. Belalang menghampiri. Ditebarkannya segumpal kedamaian yang lembut pada ujung jantungku. Yang sesaat kemudian teduh. Seperti sejengkal tanah di bawah beringin besar yang perdu. Dan di atasnya kumpulan mendung memayungi.
Ah, kembali tentang negeri kami. Sengaja kami tidak memberikan pagar pada sisi-sisinya. Hanya saja, sepotong aliran sungai yang panjang kami selipkan tepat pada tepi-tepinya. Kami rasa itu akan membuat negeri kami lebih hidup. Tidak ada istana. Tidak ada raja, presiden dan apapun yang terkait dengan pembagian kekuasaan. Kami akan membiarkannya dengan benih-benih cinta yang kami tanam dengan sabar.Â
Sedikit lalu, Belalang dan aku sempat berdebat. Akulah yang pertama memulai. Saat itu, aku tidak sepakat dengan ide Belalang 'Negeri tanpa raja'. Aku mendebatnya. 'Bukankah itu Anarki' kataku. Dia memalingkan muka dengan lembut. Menatapku dengan ramah dan berkata 'Apa yang kau inginkan dari sebuah negeri?' Aku terdiam. Sejenak mengumpulkan kata-kata yang berantakan dalam pikiranku. Kemudian melemparkannya dengan serampangan ke Belalang. Sampai kemudian kudapati aku telah lelah. Dan aku masih ingat betul kala senyum tipisnya seolah menyelimutiku, dan berkata 'bukankan kita sepakat untuk membuat sebuah negeri yang penuh damai?' Lalau aku terdiam. Sesaat kemudian kubuang jauh-jauh tatapanku. Setidaknya terayun ringan dan mendarat di akar-akar jati yang kering.Â
Pohon-pohon raksasa telah kami atur sedemikian rupa di sana. Bukan beton atau rumah kaca. Kami juga sepakat untuk membuat kepemilikan bersama. Tidak ada warga sini atau penduduk sana. Kepemilikan adalah toleransi.Â
Negari kami adalah sebuah imaginasi[].
*BagusWicÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H