Pendahuluan
Artikel ini disusun untuk menindaklanjuti Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024 tentang “Evaluasi Peraturan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023”. Dalam surat tersebut, Menteri meminta kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran, dan pertimbangan. Artikel ini bertujuan untuk memberikan masukan, saran, dan pertimbangan terkait fleksibilitas penerapan penjaminan mutu, serta mendukung proses revisi Permendikbudristek No. 53/2023 untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kebijakan penjaminan mutu pendidikan tinggi.
Penjaminan mutu dalam pendidikan tinggi memiliki peran krusial untuk memastikan bahwa perguruan tinggi menghasilkan lulusan yang kompeten, kreatif, dan siap menghadapi tantangan global. Sistem penjaminan mutu di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2012, khususnya Pasal 52 ayat (2), yang menggariskan perlunya lima komponen utama: penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan mutu. Kelima langkah ini dikenal dengan istilah PPEPP dan menjadi tulang punggung, motor penggerak Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Namun, penulis berpendapat pendekatan yang terlalu kaku dalam menerapkan siklus PPEPP dapat menjadi tantangan tersendiri bagi perguruan tinggi. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menentukan misi (mission differentiation), visi, dan pendekatan strategis sesuai dengan kebutuhan mereka. Maka, fleksibilitas dalam penerapan penjaminan mutu dapat memperkuat otonomi, inovasi sekaligus tetap menjaga tercapainya standar nasional pendidikan tinggi.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Otonomi Perguruan Tinggi: Fondasi untuk Inovasi
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola institusinya sendiri, termasuk dalam hal manajemen mutu. Prinsip otonomi ini dirancang untuk memberikan ruang yang luas bagi perguruan tinggi dalam menetapkan strategi, taktik dan pendekatan yang sesuai dengan visi, misi, dan konteks lokal masing-masing.
Problem yang dirasakan, menurut pengalaman penulis sebagai praktisi penjaminan mutu, dalam pelaksanaan SPMI, kewajiban yang seragam untuk menerapkan PPEPP sering kali dianggap membatasi fleksibilitas tersebut. Beberapa perguruan tinggi telah memiliki pendekatan manajemen mutu yang unik, seperti metode PDCA (Plan-Do-Check-Act), Agile & Lean Management, Balance Scorecard, ISO 21000 atau Total Quality Management (TQM). Kebebasan memilih metode ini sejalan dengan semangat otonomi yang tercantum dalam undang-undang dan dapat menghasilkan hasil yang setara atau bahkan lebih baik dibandingkan metode PPEPP.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Fleksibilitas Penjaminan Mutu?
Penjaminan mutu tidak hanya soal proses, tetapi juga hasil (outcome). Tujuan utama dari penjaminan mutu adalah memastikan bahwa perguruan tinggi memenuhi standar nasional Dikti sambil tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Oleh karena itu, pendekatan yang terlalu kaku pada PPEPP dapat menghambat perguruan tinggi yang ingin bereksperimen dengan metode baru yang lebih adaptif dan efisien.
Fleksibilitas memungkinkan perguruan tinggi untuk mengadopsi metode yang paling relevan dengan kebutuhan masing-masing institusi. Misalnya, sistem PDCA dapat dirancang dengan siklus yang lebih sederhana (4 langkah), memungkinkan perguruan tinggi untuk fokus pada hasil daripada proses administrasi yang rumit prosedural. Selain itu, model Agile QMS dan Lean Management dapat mempercepat implementasi perubahan, yang sangat relevan di era BANI yang penuh ketidakpastian.
Baca juga: Transformasi SPMI: Komunikasi Internal sebagai Game-Changer