Mohon tunggu...
Bagus Suminar
Bagus Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen UHW Perbanas Surabaya dan Pemerhati Ilmu Manajemen

Ayah dgn 2 anak dan 1 cucu, memiliki hobi menciptakan lagu anak dan pemerhati manajemen mutu pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa SPMI Perlu Inspirasi dari Para Guru TQM

14 Desember 2024   16:36 Diperbarui: 14 Desember 2024   18:36 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Sebuah perguruan tinggi di daerah kepulauan menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kompetensi lulusan agar mampu bersaing di era industri 5.0. Survei terhadap alumni menunjukkan bahwa mereka kesulitan memenuhi harapan tempat kerja, karena keterampilan yang diajarkan di kampus belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan dunia kerja. Kesadaran ini mendorong institusi untuk melakukan refleksi mendalam dan mempertimbangkan peninjauan ulang terhadap standar kurikulum mereka secara menyeluruh.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir sebagai solusi strategis untuk mendorong perubahan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar). Dengan melibatkan masukan dari dunia usaha dan industri (DUDI) serta para lulusan, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa kurikulum dirancang dengan cermat untuk melahirkan lulusan yang relevan dan kompeten sesuai tuntutan zaman. Pendekatan ini tidak hanya sejalan dengan semangat perbaikan berkelanjutan (kaizen), tetapi juga mencerminkan komitmen institusi terhadap kemajuan yang nyata.

Namun, keberhasilan SPMI tidak cukup bergantung pada formalitas prosedur semata. Filosofi mendalam dari manajemen mutu perlu menjadi ruh yang menyatu dalam setiap langkah. Seperti yang diajarkan oleh para tokoh besar TQM, seperti W. Edwards Deming, Philip B. Crosby, dan Joseph Juran, kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci utama. Pendekatan mereka memberikan inspirasi untuk membangun budaya mutu yang tidak hanya berakar kuat pada prinsip global, tetapi juga menghormati kearifan lokal yang menjadi identitas perguruan tinggi.

Baca juga: Inkrementalisme dalam SPMI: Realistis atau Jalan di Tempat?

Pelajaran dari Para Guru TQM

Edward Sallis, seorang penulis terkemuka dalam bidang Total Quality Management (TQM) yang berfokus pada pendidikan, mengupas gagasan besar dari para "gurus" atau tokoh utama manajemen mutu yang sangat relevan dengan prinsip dasar siklus PPEPP. Salah satu tokoh yang menjadi sorotan adalah W. Edwards Deming, pelopor yang sukses memperkenalkan filosofi Kaizen di Jepang. Deming dikenal melalui Prinsip 14-nya, yang menekankan pentingnya kepemimpinan dalam membangun budaya mutu yang mendukung perbaikan berkelanjutan.

Dalam konteks SPMI, prinsip kepemimpinan yang diusung Deming menegaskan peran sentral pimpinan perguruan tinggi sebagai motor penggerak dalam merumuskan standar mutu yang visioner. Sosialisasi prinsip ini sangat penting bagi perguruan tinggi di Indonesia untuk membangun sistem mutu yang inklusif dan berorientasi pada masa depan. Standar SPMI yang dirancang harus berbasis masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk dosen, dunia usaha dan industri (DUDI), mahasiswa, serta masyarakat, agar pendidikan yang diberikan tetap relevan dan berkelanjutan di tengah perubahan zaman.

Sebagai contoh, sebuah perguruan tinggi di Indonesia mengadopsi prinsip kepemimpinan partisipatif ala Deming dengan melibatkan pimpinan fakultas dan unit pengelola program studi (UPPS) dalam menyusun standar mutu akademik. Rektor memimpin forum diskusi lintas unit yang melibatkan dosen, mahasiswa, dan perwakilan masyarakat untuk menggali kebutuhan lokal (needs and wants) serta mengikuti tren global. Hasil diskusi ini menjadi dasar untuk menetapkan standar kurikulum berbasis capaian (outcome-based curriculum) yang relevan dengan tuntutan era Industri 5.0. Pendekatan ini tidak hanya memastikan standar mutu yang visioner dan inklusif, tetapi juga mendorong inovasi yang memperkuat relevansi perguruan tinggi di kancah regional, nasional dan global.

Baca juga: SPMI dalam Perspektif Easton: Pendidikan Tinggi di Persimpangan Jalan?

Trilogi Mutu Juran dan SPMI

Joseph M. Juran, salah satu tokoh besar yang dibahas oleh Edward Sallis, dikenal sebagai sosok yang mempopulerkan aplikasi Prinsip Pareto 80/20 dalam konteks manajemen mutu. Prinsip ini menekankan bahwa sebagian besar masalah mutu (80%) dapat diatasi dengan menangani sejumlah kecil penyebab utama (20%). Selain itu, Juran memperkenalkan konsep trilogi mutu, yang mencakup perencanaan mutu, pengendalian mutu, dan peningkatan mutu. Ketiga elemen ini sangat selaras dengan tahapan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) yang menjadi inti dari SPMI. Dalam perencanaan mutu, perguruan tinggi diarahkan untuk merancang standar berdasarkan analisis mendalam atas kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders) dan kemampuan institusi.

Pengendalian mutu dalam SPMI dilakukan melalui mekanisme audit mutu internal (AMI) yang bertujuan memastikan bahwa pelaksanaan standar sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan. Lebih jauh lagi, peningkatan mutu harus menjadi sebuah upaya berkesinambungan, bukan sekadar untuk mencapai standar, tetapi untuk melampauinya. Pendekatan ini tidak hanya menciptakan inovasi, tetapi juga memperkuat daya saing perguruan tinggi di tingkat regional, nasional, bahkan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun