Bencana lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo yang terjadi pada tahun 2006 menyebabkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang besar bagi masyarakat di sekitarnya. Konflik sosial yang muncul di masyarakat terdampak bencana dapat dianalisis menggunakan beberapa teori konflik sosial, seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx, Lewis A. Coser, Ralf Dahrendorf, dan Max Weber. Berikut adalah analisis konflik masyarakat korban lumpur Lapindo berdasarkan pemikiran keempat tokoh tersebut:
1. Teori Konflik Karl Marx
Karl Marx menekankan bahwa konflik sosial berakar pada pertentangan kelas antara pemilik modal dan kaum buruh atau proletariat. Dalam konteks bencana lumpur Lapindo, konflik yang terjadi dapat dianalisis dari sudut pandang ekonomi-politik. Lapindo Brantas, perusahaan yang terlibat dalam pengeboran yang menyebabkan bencana, adalah bagian dari kelas kapitalis yang memiliki kekuasaan ekonomi. Sedangkan masyarakat korban bencana, yang sebagian besar adalah petani dan pekerja lokal, menjadi kelas yang tertindas.
Dari perspektif Marx, konflik ini dapat dipahami sebagai ketidakadilan struktural di mana perusahaan dengan kekuatan ekonomi besar memanfaatkan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat kelas bawah. Kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian menyebabkan semakin dalamnya ketimpangan sosial dan ekonomi antara pemilik modal dan masyarakat setempat.
2. Teori Konflik Lewis A. Coser
Lewis A. Coser melihat konflik sebagai elemen yang tidak selalu destruktif, tetapi dapat memiliki fungsi positif dalam mempertahankan stabilitas sosial. Konflik dapat membantu kelompok sosial menemukan solusi terhadap perbedaan atau ketidakpuasan. Dalam kasus lumpur Lapindo, konflik yang muncul bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka, baik dalam bentuk kompensasi maupun perbaikan kondisi hidup.
Dari perspektif Coser, meskipun konflik ini menyebabkan ketegangan sosial, perlawanan dan tuntutan masyarakat korban terhadap pemerintah dan Lapindo Brantas dapat dilihat sebagai upaya untuk mencapai keadilan sosial. Konflik ini juga memicu solidaritas antarwarga yang terdampak, membentuk kekuatan kolektif untuk menekan pihak yang berwenang agar bertanggung jawab.
3. Teori Konfik Ralf Dahrendorf
Ralf Dahrendorf berfokus pada konflik kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat. Dia berargumen bahwa konflik terjadi ketika ada kelompok dominan yang memegang kekuasaan dan memaksakan kepentingannya terhadap kelompok yang lebih lemah. Dalam kasus bencana lumpur Lapindo, konflik dapat dilihat sebagai hasil dari pertarungan antara kelompok yang memegang kekuasaan, yaitu perusahaan dan pemerintah, dengan masyarakat yang terkena dampak bencana.
Masyarakat yang terdampak tidak memiliki akses terhadap kekuasaan politik maupun ekonomi untuk mempengaruhi kebijakan yang dapat memperbaiki kondisi mereka. Konflik ini muncul ketika masyarakat menuntut keadilan dalam bentuk ganti rugi, sedangkan perusahaan dan pemerintah cenderung memperlambat atau mengabaikan tuntutan tersebut. Ketimpangan dalam distribusi kekuasaan ini menyebabkan eskalasi konflik di tingkat lokal dan nasional.
4. Teori Konflik Max Weber