A. Analisis Sebelum Dimulainya Perang Gerilya
Penilaian situasi yang tepat dari masyarakat desa dan perkotaan sangat diperlukan oleh Jenderal Soedirman untuk mengkoordinir antartokoh yang mengadakan gerakan atau oposisi dalam gerilya nanti. Sebenarnya, penilaian situasi yang tidak ada hentinya ini telah dijalankan oleh Soedirman selama kesatuan masih utuh dan tetap menjalankan tugas masing-masing. Pada saat itu, lebih baik para tentaea yang dipimpin oleh Soedirman dapat menciptakan suatu situasi dalam daerah yang mampu bergerak secara khusus dan tersembunyi dan memiliki tujuan menguntungkan rakyat Indonesia.
Pada saat itu memang tentara Indonesia harus selalu mengingat, bahwa perlawanan rakyat terhadap kolonialis Belanda sifatnya total. Dengan sendirinya perlu integritas antara Tentara Nasional Indonesia dan rakyat Indonesia. Penduduk di daerah gerilya tersebut juga akan menjadi kekuatan dalam menghadapi musuh dan akan menyebabkan proses isolasi sosial terhadap musuh.
Penjajahan Belanda pada era usai reformasi menimbulkan kelompok baru di kalangan masyarakat pedesaan, yaitu kelompok bakul (perempuan yang berdagang) yang menjalankan jual beli antara desa dan kota. Kelompok bakul perempuan ini berani bepergian jauh, misalnya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, naik kereta api membawa dagangan pada waktu periode 1946-1948. Jadi, Sebagian prajurit Soedirman tidak bisa meremehkan golongan "Perempuan Intelektual" ini.Â
Rakyat Indonesia sadar, selama penjajahan Jepang yang hanya 3,5 tahun telah mampu membentuk kelompok baru di kalangan laki-laki, yaitu PETA. Namun, bagaimana komandan mampu menempatkan kelompok tersebut yang jumlahnya 40.000 di seluruh Jawa? Harus diadakan analisis secara objektif, mengingat ada beberapa perwira dari mantan PETA yang memiliki karakter yang berbeda-beda.
Jadi pada intinya, pemimpin Indonesia dari PETA yaitu pada daidanco yang jumlahnya kurang dari 50 orang ini pada umumnya tidak ada yang memiliki pemikiran militer dalam bentuk apa pun. Bahkan, Daiman di Jakarta yang dipimpin oleh daidanco Mr. Kasman Singodimedjo, sebelum proklamsi pernah menyanggupi permintaan bala tentara Indonesia mengenai persenjataan sebelum pada tanggal 17 Agustus 1945, menigngkari janjinya untuk memberi senjata.
 Gejala-gejala yang seperti ini memaksa sebagian militer untuk berpikir dengan serius. Ditambah dengan kejadian pada waktu Revolusi Surabaya dimulai, yaitu Muhammad anggota daidanco dan bekas Asisten Wedana bersama dengan pemuda Soetomo. Secara terang-terangan pada tanggal 26 September 1945, tidak setuju ketika rakyat kampung Surabaya sekitar Gedung Don Bosco di Sawahan, menyerbu Gudang senjata Katsura Butai dengan Komandan Mayor Hasiomoto merampas senjata. Kedua orang tersebut berpidato melalui pengeras suara Sendenbu mencegah rakyat untuk mengambil senjata.
Ini adalah bukti, bahwa perjuangan pada rakyat Indonesia beserta prajurit tentara nasional tidak main-main. Dengan semangat yang penuh, mereka ingin memerdekakan Indonesia 100%. Sebagaimana Soedirman yang mampu beradaptasi ke daerah Sobo. Berkonsolidasi dengan warga sekitar, menjalin hubungan yang erat, bahkan menjalankan strategi melalui warga kampung. Memang tidak mampu terekspos mengenai hal yang seperti ini. Tapi memang tidak bisa dipungkiri, keberadaan rakyat Indonesia yang mampu dikerahkan bersama-sama melawan penjajah adalah suatu kekuatan tersendiri bagi Republik Indonesia.
B. Pengkhianatan Perjanjian Roem-Royem oleh Belanda
Seiring semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada tanggal 7 Mei 1949, Indonesia dan Belanda menggelar perundingan kembali. Perundingan inilah yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Royem. Nama perjanjian tersebut diambil dari nama kedua pemimpin delegasi tersebut, antara lain Muhammad Roem dan juga Herman Van Roijen.
Pertemuan ini memiliki tujuan untuk menyesuaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag pada tahun yang sam. Perjanjian ini bisa dikatakan sangat rumit dan penuh intrik politik, sehingga memerlukan kehadiran Muhammad Hatta dari pengasingan di Banka. Selain itu, juga mendatangkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Hamengkubuwono IX terhadap Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sri Sultan mengatakan "Yogjakarta is de Republiek Indonesie" (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).