Mohon tunggu...
Bagus Rahmat Prabowo
Bagus Rahmat Prabowo Mohon Tunggu... Dokter - HIV Regional Prevention di UNAIDS Asia-Pacific

Seorang dokter untuk sexual and reproductive health. Concern terhadap HIV dan AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Antara Preventive Medicine dan Kanker Serviks

24 April 2012   04:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:12 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Anda tentu sudah sangat akrab dengan jargon mencegah lebih baik daripada mengobati. Atau jargon lain yang sejenis misalnya sedia payung sebelum hujan. Keduanya mirip, yaitu mengutamakan pengetahuan dan perencanaan untuk mencegah dampak negatif dari sebuah kejadian. Dari sudut pandang kesehatan, jargon-jargon tersebut sebenarnya memegang peranan yang sangat besar. Sebelum berbicara lebih jauh tentang sistem pembiayaan kesehatan Indonesia yang nampaknya sangat sulit untuk diintervensi, maka mitigasi yang paling utama dari buruknya sistem kesehatan di Indonesia adalah dengan preventive medicine. Sangat masuk akal, mengingat mencegah jauh lebih murah daripada mengobati. Ya, ini lagi-lagi sebuah jargon. Seberapa besar peran preventive medicine saat ini dan seberapa jauh aspek ini masuk dalam sistem kesehatan kita? Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya campur aduk antara strategi pencegahan atau kurang tepatnya strategi yang dipilih. Misalnya, apakah tepat memilih strategi penggunaan vaksin HPV sebagai strategi pencegahan kanker serviks? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita kupas apa yang disebut dengan preventive medicine.

Secara umum, preventive medicine didefinisikan sebagai berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah penyakit. Konsep preventive medicine sangat bertolak belakang dengan konsep pengobatan. Karena mengobati dilakukan setelah muncul penyakit. Sedangkan pencegahan dilakukan jauh sebelum penyakit muncul. Konsep ini juga makin jauh dengan paliative medicine, karena pada pada perawatan paliatif titik fokusnya adalah penatalaksanaan penyakit yang sudah terjadi dan lebih berfokus kepada penanganan dampak yang telah ditimbulkan. Jika ditarik dari sudut pandang yang lebih luas lagi, preventive medicine lebih berfokus kepada pendekatan kesehatan masyarakat dibandingkan dengan kesehatan individual. Strategi pelayanan komunal menjadi sebuah pendekatan utama dalam preventive medicine.

Untuk dapat mempraktekkan pencegahan dengan baik maka perlu mengenal tingkatan dari preventive medicine. Pembagian tingkatan ini tujuannya untuk mempermudah menentukan strategi apa yang seharusnya dijalankan dalam menangani sebuah kasus. Untuk itu preventive medicine dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu primer, sekunder dan tersier.

Primary prevention (pencegahan primer) bekerja dengan mencegah sebelum munculnya penyakit. Sebagian besar strategi promosi kesehatan termasuk ke dalam pencegahan primer. Misalnya kampanye bahaya merokok atau kampanye pencegahan flu burung. Kampenye pencegahan narkoba juga masuk ke dalam tingkatan pencegahan primer.

Secondary prevention (pencegahan sekunder) bekerja dengan cara mencegah berkembangnya penyakit ke tahapan yang lebih lanjut. Misalnya testing dan konseling HIV, papsmear dan IVA yang akan dibahas lebih lanjut dalam paragraf-paragraf terakhir dari tulisan ini.

Tertiary prevention (pencegahan tersier) adalah segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif atau untuk mencegah sebuah kondisi menjadi lebih buruk. Umumnya berbagai metode profilaksis dan vaksin masuk ke dalam tingkatan ini. Misalnya profilaksis izoniazid dan kotrimoksazol yang diberikan kepada orang yang terinfeksi HIV agar infeksi nya tidak berkembang menjadi kondisi AIDS. Vaksin influenza juga masuk ke dalam metode ini. Termasuk juga vaksin HPV yang belakangan ini cukup beken di kalangan perempuan untuk pencegahan terhadap kanker serviks.

Dari tingkatan-tingkatan tersebut seharusnya strategi pencegahan berurutan mulai dari pencegahan primer sampai ke pencegahan tersier. Prinsip mencegah lebih mudah dan lebih murah daripada mengobati masih menjadi dasar mengapa pemilihan strategi pencegahan penyakit sebaiknya berurutan dari primer menuju tersier.

Dalam pencegahan HIV, Primary prevention adalah kampanye pencegahan HIV. Termasuk di dalamnya tidak berhubungan seks bagi yag belum menikah, bersikap saling setia dengan pasangannya atau menggunakan kondom bila tidak mampu mempraktekkan aseksual dan saling setia. Algoritme ini tidak boleh dibalik. Harus selalu dimulai dari kondisi yang pertama, yaitu tidak berhubungan seks. Sebaiknya tidak dilakukan kampenya penggunaan kondom pada anak usia sekolah. Yang ada adalah kampenye untuk tidak berhubungan seks. Namun mengingat fakta bahwa angka hubungan seksual pada remaja cukup tinggi, maka bisa dilanjutkan strategi primary prevention yang ketiga, yaitu promosi kondom pada anak sekolahan. Ini lebih lanjut disebut sebagai selective prevention. Tidak seluruh anak sekolah kemudian diberikan promosi kondom hanya yang benar-benar berisiko yang akan mendapatkannya. Secondary prevention pada pencegahan HIV adalah dengan konseling dan testing untuk mengetahui status HIV nya. Karena seseorang bisa membawa virus HIV tanpa mengetahui dirinya telah terinfeksi, maka satu-satunya cara untuk mengetahui status HIV orang tersebut adalah dengan konseling dan testing. Ini merupakan salah satu strategi pencegahan, karena apapun hasilnya tetap akan dilakukan usaha untuk mencegah agar tidak terinfeksi HIV, tidak menularkan HIV ke orang lain atau agar tidak terjadi infeksi ulang. Sayangnya sampai saat ini pencegahan tersier vaksin HIV masih dalam tahap pengembangan. Namun beberapa berita terbaru menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dari penemuan vaksin HIV.

Kanker serviks secara umum disebabkan oleh Human Papiloma Virus (HPV). HPV umumnya ditulakan melalui skin to skin contact dalam hubungan seksual. Virus ini mampu bertahan dalam mukosa atau epitel kulit orang yang terinfeksi tanpa memberikan gejala apapun. Beberapa gejala kutil kelamin mungkin muncul. Namun pada perempuan yang memiliki saluran reproduksi yang luas, gejala ini jarang sekali terlihat. Karena merupakan salah satu infeksi menular seksual, maka pencegahan primernya adalah dengan mengkampanyekan seks yang aman. Hampir sama seperti kampaye pencegahan primer pada HIV. Pencegahan sekundernya adalah dengan melakukan papsemar atau tes IVA untuk mencegah berkembangnya penyakit ke dalam tahapan yang lebih lanjut. Sedangkan pencegahan tersiernya adalah dengan vaksin HPV yang saat ini banyak beredar luas di masyarakat. Namun sayang, strategi pencegahan kanker serviks di masyarakat melupakan pencegahan primer. Pencegahan sekunder agak sedikit terlupakan setelah muncul pencegahan tersier. Seharusnya pencegahan tersier ini tidak lantas menggantikan pencegahan sekunder yang sudah ada. Peran perusahaan besar farmasi sebagai produsen vaksin cukup mengambil posisi yang penting dalam kesalahkaprahan strategi pencegahan kanker serviks. Mengingat bahwa pemberian vaksin HPV tidak selalu efektif, apalagi jika diberikan kepada perempuan di atas 30 tahun, maka tetap pencegahan primer dan sekunder harus selalu menjadi tulang punggung. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kampanye pencegahan infeksi menular seksual dan skrining dini dengan papsmear atau IVA masih jauh lebih murah dibandingkan dengan pemberian vaksin HPV. Seharusnya sangat menguntungkan bagi masyarakat. Namun sayang kurang menguntungkan bagi pemberi layanan. Akibatnya penjualan vaksin HPV dipaksa untuk melampaui target sedangkan pencegahan primer lupa disampaikan.

Semua level dari strategi preventive medicine adalah sama-sama penting. Lantas bagaimana menentukan strategi terbaik dalam bidang pencegahan? Langkah pertama adalah dengan melakukan pemetaan sejauh mana tingkat pengetahuan masyarakat. langkah ini penting karena menjadi penentu utama tingkat partisipasi masyarakat ketika kampanya pencegahan mulai digulirkan. Saat masyarakat belum cukup memahami apa yang menjadi penyebab kanker serviks, rasanya kurang bijaksana jika strategi pencegahan kemudian loncat pada pencegahan tersier.

Langkah kedua adalah dilanjutkan dengan regulasi yang jelas. Karena aspek promotif seharusnya menjadi domain dari masyarakat, harus ada regulasi yang jelas yang mana ujungnya adalah adanya keterlibatan penuh masyarakat dalam penentuan regulasi dan aturan main. Seandainya semua produsen vaksin berlomba-lomba memasarkan produknya, kembali masyarakat hanya akan menjadi penonton dan menjadi korban. Perusahaan farmasi bisa saja kemudian melakukan klaim-klaim yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah, sehingga strategi pemasarannya nampak evidence based.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun