Mohon tunggu...
Bagus Putra W
Bagus Putra W Mohon Tunggu... Penulis - Suka nulis saja.

Semacam robot pekerja.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilwakot Semarang, Timses, dan Tiba-Tiba Jadi 'Gus'

10 September 2024   09:20 Diperbarui: 10 September 2024   09:33 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi pribadi

Seiring berjalannya waktu, penggunaan panggilan "Gus" meluas dan menjadi identik dengan anak kiai, tanpa memandang usia mereka. Meski demikian, panggilan ini tidak serta merta dapat digunakan oleh siapa saja.

Dalam jurnal "Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis" yang ditulis oleh Millatuz Zakiyah (2018), dijelaskan bahwa panggilan 'Gus' tetap melekat pada seorang putra kiai meskipun mereka sudah dewasa.

Hal ini menunjukkan bahwa gelar tersebut tidak hanya sekadar simbol, melainkan mencerminkan sebuah identitas dan tanggung jawab.

Bagi masyarakat nahdliyin, panggilan 'Gus' bukan hanya sekadar gelar, tetapi juga merupakan penghormatan yang datang dengan tanggung jawab moral dan sosial.

Apakah Bagas benar-benar memahami nilai-nilai yang terkandung dalam gelar tersebut? Ataukah hanya memanfaatkan simbolisme tersebut untuk kepentingan politik?

Penting untuk menyadari bahwa masyarakat semakin cerdas dalam memilih pemimpin. Mereka tidak hanya mengandalkan gelar atau simbol, tetapi juga melihat rekam jejak, integritas, dan komitmen calon terhadap masyarakat.

Oleh karena itu Gus Bagas, eh Den Bagas... memanfaatkan panggilan 'Gus' tanpa dasar yang kuat justru bisa berpotensi merugikan citra dan reputasi calonmu itu sendiri. 

You know? understand? clear??

Namun, di balik fenomena tersebut, masyarakat juga diharapkan lebih kritis dalam menilai calon pemimpin, tidak hanya berdasarkan gelar atau simbol, tetapi juga pada integritas dan komitmen mereka untuk membangun daerah. Dalam politik, kejujuran dan keaslian adalah kunci untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tak perlu berpura-pura untuk menjadi sesuatu, agar dianggap sebagai bagian dari sesuatu.

Oh iya, selain panggilan Gus, untuk anak perempuan kiai di lingkungan pesantren biasanya dipanggil "Neng" atau "Ning", yang juga memiliki nilai dan makna tersendiri dalam konteks budaya lokal.

Namun bukan "Ning" untuk panggilan "Dek Bening" lho ya. Sebagai informasi saja, Bagas memiliki kekasih yang panggilan sayangnya "Dek Bening", meski nama sebenarnya bukan Bening.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun