BERMODAL pakai peci hitam, teman saya Bagas tiba-tiba minta dipanggil dengan nama baru: Gus Bagas. Sempat bingung saya mendengar permintaan itu, karena sepengetahuan saya dia tak pernah mondok, atau memiliki latar belakang keluarga kiai, dan nama aslinya juga bukan Bagus, seperti saya.
Bagas hanya pernah jadi seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri keagamaan di Kota Semarang. Itupun tak lulus-lulus dan akhirnya pindah ke universitas swasta di Kota Semarang beberapa tahun lalu.
Namun, setelah saya berbincang dengannya, baru tahu alasannya. Bagas minta dipanggil "Gus" karena telah direkrut oleh salah satu seniornya di organisasi ekstra-kampus, untuk jadi bagian dari tim sukses calon di Pilwakot Semarang 2024.
Bagas ingin lebih terlihat agamis dan keren dengan panggilan baru itu. Hal ini, kata dia, sebenarnya untuk menutupi "kelemahan" calon yang didukungnya, yang memang tak memiliki kedekatan dengan kelompok Islam. Calon yang dia dukung non-Islam lebih tepatnya.
Untuk meraih simpati kelompok mayoritas tersebut, cara inilah yang kemudian dipakai. Jurus tiba-tiba, berubah! Berdandan dan "pura-pura" menjadi agamis, membuat video pernyataan sikap dan dukungan kepada calon, editing dikit-dikit, dan sebarkan di media sosial. Tugasnya, membuat propaganda seolah calon yang dibela didukung oleh mayoritas kelompok Islam di Kota Semarang.
Dalam hati saya, "oalah Bagas.. Bagas.. gemblung memang dia".
Tapi saya enggan membahas alasan politisnya tersebut, atau membahas isu agama tentang calon yang didukung Bagas. Yang ingin saya jelaskan pada Bagas, dalam kultur tradisi Nahdlatul Ulama (NU), sepengetahuan saya yang orang abangan, bahwa untuk mendapatkan gelar "Gus" ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Tak hanya berbekal peci hitam dan pemahaman agama dari "katanya" dan "katanya".
Panggilan 'Gus' dalam tradisi NU memiliki makna dan keistimewaan tersendiri, terutama di wilayah Jawa. Gelar ini biasanya disematkan kepada putra seorang kiai yang memiliki santri dan pondok pesantren. Untuk dianggap layak menyandang gelar ini, seseorang harus memiliki akhlak yang baik dan aktif dalam khidmah pada ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, ketika gelar "Gus" tiba-tiba diadopsi oleh individu yang tidak memiliki latar belakang tersebut, terutama Bagas yang kesehariannya saya tahu betul, hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan dan niat di balik penggunaan gelar itu.
Dari literasi yang saya dapat dari mesin pencari, kata 'Gus' sendiri berasal dari istilah 'Bagus', yang dalam konteks sejarah awalnya merupakan panggilan untuk putra raja kecil di keraton.
Dalam buku "Baoesastra Djawa" yang ditulis oleh Poerwadarminta, disebutkan bahwa panggilan ini berasal dari tradisi keraton yang memanggil putra raja dengan sebutan Raden Bagus, yang kemudian disingkat menjadi Den Bagus.