Betapa Pentingnya Panduan Pertolongan Pertama buat Keluarga Penderita Gangguan Mental.
Sahabat, dulu saya sering ketawa kalo bercerita tentang orang gila. Kayaknya ada aja hal2 yang lucu untuk jadi bahan lelucon. Tapi ketika saya sekeluarga mengalaminya sendiri, wah... butuh bertahun2 untuk menemukan apa yang sesungguhnya kita hadapi. Ketika kami menemukan kata kuncinya, itu tidak serta merta menjawab semua permasalahan kami sekeluarga.
Sebaliknya, justru membuat kami melongo, ternyata kami nol besar soal pengetahuan kesehatan mental! Nol besar mengenai organ otak yang justru salah satu bagian terpenting bagi kita.
Bukan, bukan mengenai istilah-istilah medis, ataupun nama-nama bagian jeroan otak kita. Masih jauh panggang dari api. Bahkan bagaimana kami sekeluarga berinteraksi pun kayaknya jadi serba teracak. Maklum, semua jadi kalut karena kebetulan kondisi kakak saya yang paranoid lumayan bikin tegang seisi rumah. Mungkin saya akan cerita mengenai hal itu lain waktu. Sekarang saya ingin mengajak keluarga2 yang hidup bersama penderita gangguan mental(psikosis) untuk belajar sedikit mengenai panduan pertolongan pertama menghadapi penderita.
Bagi yang belum mengalami bisa jadi akan meremehkan. "Ah, itu sih alamiah aja..." atau "Ternyata cuma gitu doang..." atau nggak peduli. Tapi bagi saya yang pernah mengalami situasi-situasi krisis, ternyata panduan semacam ini terasa pentingnya karena bisa mendudukan perkara kepada akal sehat. Menuruti perasaan saja bisa berbahaya, karena kami sekeluarga kan bingung dan tidak tau sedang menghadapi penyakit apa. Bisa-bisa kita malah berantem dengan si penderita.
Bingungnya kita itu karena banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul . Apakah karena santet, tenung? Atau penyakit ini muncul karena justru sikap hidup penderita yang maunya serba enak tanpa usaha dalam mencapai kenikmatan hidup? Sehingga jiwanya rentan dan kalo gagal jadi ambrol semua? Pikiran-pikiran ini membuat kita jadi saling tunjuk dan menyalahkan. Karena didikan Bapak yang salah lah, Ibu yang memanjakan anak dan kawan2nya.
Tapi kalo suasana lagi agak tenang dan bisa mikir, kita jadi mikir... Siapa sih yang mau sakit... Apalagi sakit kayak begitu...
Sayangnya, karena kebodohan kita, karena nol besarnya soal kesehatan mental itu... Kami jadi cuma percaya setengah aja bahwa medis bisa membantu mengembalikan kakak saya seperti sediakala. Nggak sampai setengah, malah... Tapi bersama proses pembelajaran yang panjang, akhirnya terbukti, rupanya itu sangat-sangat bisa!
But, It cost a lot to us! Kami membayar harga yang sangat mahaaal sekali. Bukan cuma dari segi finansial saja, tapi kami masih sangat beruntung tidak sampai ada nyawa yang melayang.
Nah, sahabat, apa yang membuat kami masih bisa selamat, bukan dari pengobatan medis yang akhirnya kita tempuh lebih fokus. Tapi panduan-panduan yang saya baca sebisanya dari website2 di internet yang kemudian saya terjemahkan secara verbal maupun tulisan. Kemudian saya jelaskan sesederhana mungkin kepada keluarga saya. Meskipun ibu saya khususnya masih agak sulit menerima kenyataan bahwa anaknya "Gila" atau dalam hal ini skizofrenia. Tapi beliau tetap memperhatikan dengan baik apa yang saya bacakan padanya.
Panduan ini cukup membantu kami mengelola konflik dengan penderita. Tentu saja banyak sekali kegagalannya. Anda nggak akan bisa paham betapa sulitnya keadaan. Tapi percayalah, teknik-teknik sederhana ini bisa sangat membantu.