Dalam dunia perkuliahan tidak terlepas dengan yang namanya politik, secara garis besar politik itu bermakna suatu aktivitas yang dibuat, dipelihara, dan di gunakan untuk masyarakat untuk menegakkan peraturan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.
Politik itu sendiri dapat dilihat sebagai ilmu dan seni, politik ditinjau dalam ranah ilmu pengetahuan mengacu pada bagaimana memahami teori - teori tentang kekuasaan, sistem pemerintahan, kebijakan negara, dan lain sebagainya sedangkan seni politik lebih melihat politik dalam aspek penerapan nyata, insting berpolitik dan siasaat melakukan politik.
Kemudian lebih jauh daripada politik, mahasiswa harus mampu memahami apa itu makna seorang negarawan, Munir Fuady misalnya mengatakan negarawan adalah orang yang memahami konstitusi dan tata negara namun dalam tulisan ini saya ingin lebih menginterpretasikan makna negarawan lebih syumul dan fleksibel, seorang negarawan bukan saja seorang intelek, bukan saja seorang aktivis, bukan saja seorang cendekiawan, bukan saja seorang yang memahami khazanah ilmu pengetahuan politk, namun lebih jauh lagi datipada ith.
Negarawan ialah orang yang dalam hatinya terpancar determinasi pulung kepemimpinan, pulung kearifan, pulung yang dalam leksikografi susastra politik jawa diistilahkan seorang yang mampu "nyengkuyung bebrayan" yang juga "memayu hayuning bawana", seorang yang dalam jiwa,nurani dan fikiranya memiliki determinasi luas memahami perasaan rakyatnya.
Namun dewasa ini, belum terlihat sama sekali jiwa kenegarawanan kita dalam dunia kampus, kampus tak ubahnya parta politik yang mencetak politisi yang sarat kepentingan berbagai pihak, ia tak mampu berdikari, disetir sana sini, menjadi kacung keserakahan, menjadi pion elit dan sebagainya.
Kapankah kita mampu membangun mahasiswa yang dalam jiwanya berapi api dan memiliki mentalitas negarawan ulung? Kapankah kira kira itu akan terjadi?
mengutip perkataan yang sudah terkenal berbunyi "Laula Ar Roja'u Lamma Sa'a Sa'in nahwa umniyatin wa la da'a ila wathoniyatin " andaikala seorang pemuda yang dalam jiawanya tak terpancar semangat idealisme, ia bagaikan kertas kosong tak berpena,hampa" namun saya juga katakan berulang kali "iyyaka wal halakah khatta ja'an man khabba riyasah " tunggulah kehancuran tatkala datang seorang yang hanya mencintai jabatan".
Inilah kemudian refleksi yang ingin saya tanyakan ulang kepada mahasiswa dalam melihat perpolitikan kampus.
Siapkah anda berubah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H