Mohon tunggu...
Bagus anak wage
Bagus anak wage Mohon Tunggu... -

saya bagus anak wage

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Skenario Ini Tidak untuk Aku

3 Juli 2010   21:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:07 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sudah seujung matahari bersembunyi dibalik cakrawala, silau namun indah, aku baru sadar ada seorang seorang perempuan merona pipinya akibat ditampar mentari yang malu tak jauh dari tempatku merbahkan tubuh. Gaun terusan panjang berwarna biru nan anggun makin mewah tertiup alunan lembut angin darat. Rambut panjang terurai ikut mendayu bak nyiur di tepi laut. Aku yang sedang rebahkan daging seberat 60 Kg ini memandang kearah perempuan itu. Cantik, cuma kata itu yang ada di kepala.

Mata perempuan itu menatap senja yang menjingga, tangan kirinya yang tak rapat mengenggam pasir membuat pasir putih itu bergulir deras dari sana. Kepalanya sesekali menengadah ke birunya langit sore itu, sesekali menundukkan ke pasir putih. Godaan ombak tak bisa mengusirnya dari tempat ia berdiri. Ia sedang asik menikmati kesendiriannya.

Perempuan itu berjalan perlahan ke lautan. Gaun yang menambah kecantikkannya pun ikut basah bawahnya. Ia berjalan terus, sampai air serata dengan perutnya, dan menenggelamkan kepala yang terdapat wajah yang cantik.

Setelah basah seluruh rambutnya, ia mendengakkan kepalanya mirip iklan sampo di televisi. Percikkan air melompat-lompat dari juntaian rambutnya dan ia kembali menatap mentari yang sedari tadi memperhatikan tingkah perempuan itu.

Gelap semakin gelap, mentari pun entah main dimana, si perempuan masih dengan keegoannya berdiri mematung di sana, masih dengan air seperutnya. Angin malam juga sudah menusuk-nusuk dada ini, aku yang bertelanjang dada sudah tak kuat bercanda dengan angin malam dan memutuskan bangun dari posisi rebah ku.

Ku ambil tikar yang terbuat dari alang-alang yang menjadi alas rebah ku, ku gulung ia bak risol raksasa dan ku melenggang dari tempat itu sembari sesekali menoleh ke wajah cantik perempuan bergaun biru itu. Beberapa kali toleh dan terus menoleh, hingga ku rasakan aku tak mau kehilangan wajah cantiknya. Dan aku memilih berlabuh ke sebuah warung kecil di pinggir pantai, tak jauh dari tempat ku merebah dan dari warung itu pun aku masih bisa melihat keberadaan perempuan yang masih mematung setengah basah di sana.

Ku pesan air jeruk dingin dan sebakaran roti isi coklat kepada bapak berkumis tebal si mpunya warung. Ku duduk di bangku panjang dengan posisi sila satu kaki dan kaki lain melipat ke atas, bak pengunjung warteg yang siap makan. Ku pasang badan ku ke arah lautan sembari menikmati pantai di kala malam.

Pesanan datang, aku tetap pada posisi warteg ku, dan tetap menatap ke perempuan itu, ucapan terimakasih pun melayang ke bapak dengan kumis tebal itu. Warung kecil dengan meja beratap daun kelapa yang diterangi lampu 5 watt, yang panjangnya tak lebih dari 5 meter ditemani bangku panjang yang terbuat dari batang kelapa yang eksotis ditambah semilir angin laut membuat aku nyaman memperhatikan perempuan itu dari sini.

Seteguk, dua teguk, seenyam, dua enyam, gelas air jeruk dingin ku perlahan berkurang dan sebakaran roti isi coklatku juga sama, tapi si perempuan masih belum beranjak dari dinginnya air laut dan terpaan ombaknya.

Di sela kekaguman ku pada si perempuan, aku teringat akan masa dan ku bertanya pada bapak berkumis tebal, “pak jam berapa?”. “Jam tujuh lewat 16 menit”, ujar si pemilik kumis setelah melihat jam karet dengan lambang tanda centang dan seraya tersenyum. Ku lihat gelas air jeruk dingin ku, ternyata sudah tinggal seperempat gelas, dan ku pandang piring sebakaran roti isi coklat ku malah tinggal remah-remahnya saja. Angin malam juga sudah tak bersahabat. Jadi ku putuskan untuk kembali ke tempat ku menginap.

Selembar pecahan sepuluh ribuan dan selembar pecahan lima ribuan ku berikan kepada bapak berkumis tebal itu, setelah menanyakan harga makanan dan minuman yang ku pesan tadi. Si bapak pun mengembalikan selembar pecahan dua ribuan dan selembar pecahan seribuan. Sembari mengucap, “terimakasih ya, kembali lagi nanti”. Dan ku balas senyum seraya berucap, “sama-sama pak”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun