Mohon tunggu...
Bagus anak wage
Bagus anak wage Mohon Tunggu... -

saya bagus anak wage

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mereka-reka Semeru

23 Desember 2013   14:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terus elu doang gitu yang bisa naik gunung? Gw ga boleh?" ketus pelajar SMP yang bersepatu kets yang akan melakukan pendakian di kaki Gunung Semeru.

 

Bocah laki-laki bercelana pendek dan berjaket label clothing terkenal itu bergaya mantab bak ingin pergi ke mall. Lengkap dengan topi yang sisinya berjaring dan kacamata hitam disangkutkan di atas kap topinya. Tas slempangnya berada di kiri, berisi botol minum berwarna dengan isinya yang tidak begitu penuh. Sedangkan di sisi kanannya ada tas pinggang yang melingkar. Bocah tadi melenggang santai menapaki jaluir pendakian.

 

Si bocah tidak sendirian, bersama tiga teman sebayanya. Didampingi seorang dewasa yang mengawalnya, tentunya dengan tas sebesar kulkas dua pintu yang dipanggul pria dewasa tadi.

 

Empat bocah tadi berjalan beriringan, sesekali mengabadikan momen lewat telepon pintarnya yang ukurannya besar itu dan tak muat di saku celana, tentunya sambil cekikikan karena suaranya kemana-mana. Orang dewasa yang tadi? Sabar saja menunggui para bocah berbahagia.

 

Tujuan mereka ke Ranu Kumbolo, sukur-sukur bisa ke puncak. Itu kata pria dewasa yang menemani mereka, namanya Joko, warga Surabaya. Anak-anak itu dari Semarang. Kata Joko, mereka terobsesi mendaki Semeru setelah menonton film 5cm yang diputar di bioskop kesayangan mereka. Joko disewa untuk angkut barang mereka. Sendirian.

 

Hela nafas panjang ku hembuskan. Bukan cuma bocah-bocah tadi yang beralasan demikian untuk mendaki ke Semeru. Mungkin ada ratusan atau ribuan orang yang punya obsesi yang sama. Entah negatif atau positif, tapi film itu memang berdampak buat Gunung Semeru. Semeru makin ramai, warga pun makin senang, makin banyak uang yang datang, itu sisi positifnya.

 

Gelas kopi di hadapan ku, ku teguk, masuk ke dalam kerongkonganku yang masam karena tak menghisap rokok sejak sejam yang lalu. Aku mulai membuka obrolan lagi dengan rekan ku yang ada tepat di samping ku. Yang juga menyeruput kopi dari gelas yang sama dengan ku.

 

"Asik ya sekarang ke Semeru"

"Seru pak!"

"Kapan lu naik pertama kali dulu?"

"Pertengahan tahun 2006. Waktu awal-awal masuk kuliah Ge"

"Ramai waktu itu?"

"Sepi. Gw masih bisa lihat merak yang lalu lalang di Kali Mati. Gw bisa lari-larian di Ranu Kumbolo. Bisa jumpalitan juga"

"Terus kapan lu terakhir ke sana?"

"Awal tahun ini (2013). Sudah ramai banget. Bahkan susah untuk jalan di Ranu Kumbolo karena saking banyaknya tenda pendaki. Yang jelas banyak sampah sekarang"

 

Sesi interogasi ku selesai. Aku tak mau berpikir macam-macam. Ku ambil rokok dan ku bakar dengan korek zippo milik teman ku itu. Tarikan pertama, asapnya ku sembul ke udara. Memenuhi ruangan tempat kami ngobrol. Ruangan kecil 3x4 meter.

 

Aku dan Adhoy, begitu dia disapa, adalah teman sejak SMP dulu. Sebab kami punya hobi yang sama, berpetualang di alam. Namun, aku belum pernah sama sekali ke Semeru. Adhoy ini, hampir setiap tahun ke sana, bahkan sendirian. Katanya, itu perjalan spritualisnya. Adhoy, ya orang yang menemani ku minum kopi saat ini, di sebuah warung kopi-bubur kacang ijo, di dekat Kampus UIN Ciputat. Kami memang warga Ciputat, SMP dan SMA kami bersama, cuma kuliahnya beda. Aku di UIN Ciputat, Adhoy di Mustopo. Nasib pacaran kami juga berbeda, pacar Adhoy banyak dan gonta-ganti terus. Sedang aku sudah hampir 3 tahun tak pacaran. Ah lupakan bagian yang ini.

 

Adhoy melanjutkan ceritanya, masih soal Semeru, tempat yang takut untuk ku tapaki. Dia bilang, pernah melihat mayat tergeletak tanpa ada yang mau mengevakuasi. Itu sekira tahun 2009. Mayat itu ada di dekat kawah tepat sebelum puncak. Atau yang biasa dikenal blank 75. Aku tak mau cerita apa itu blank 75, silakan cari tahu sendiri.

 

Mayat itu, kata Adhoy, terjerembab ke dalam lembah. Dia, bersama timnya, saat itu sedang melakukan pelatihan SAR untuk kampusnya sekaligus operasi semut, operasi bersih-bersih gunung. Melihat mayat tadi, tim Adhoy ini tentu langsung menolongnya. Meskipun dipastikan sudah menjadi mayat. Mayat yang sudah membusuk dan sudah berbau. Langsung mayat itu dimasukan ke plastik sampah yang mereka bawa dan kemudian dibawa turun.

 

Diketahui belakangan, mayat tadi bernama Manggala Sinar Dunia, Mahasiswa salah satu kampus di Jawa Barat. Itu diketahui dari identitas di dompetnya. Tepat di saku belakang bagian kanannya. Dompetnya ini juga sudah kotor, berlumpur meski berada di dalam saku. Uangnya cuma tinggal 26ribu, dengan pecahan sepuluh ribuan yang terbesarnya.

 

Evakuasi berhasil dan mayat Manggala bisa dibawa turun dari gunung. Telisik punya telisik, Manggala memang naik sejak seminggu sebelum dibawa turun oleh tim Adhoy. Manggala terdaftar mendaki bersama enam temannya yang lain. Hanya saja, laporan yang didapat pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Manggala sudah ikut turun bersama rombongannya pada dua hari sebelum tim Adhoy melapor menemukan mayat ini.

 

Aku tetap berfikir itu adalah Manggala yang sama dengan yang didaftar. Lalu bagaimana bisa Manggala tertinggal? Atau sengaja ditinggal? Sebegitunya? tanyaku. Kok bisa? Lah, teman-temannya kok ninggalin gitu aja? Itu yang ku tanyakan ke pada Adhoy. Adhoy pun diam, tak bisa menjawab. Wajar dia tak bisa menjawab, karena dia bukan temannya Manggala, tapi teman ku. Tapi aku turut berduka untuk Manggala, semoga teman-temannya cepat menyusul Manggala. Itu pula yang menjadikan Semeru gunung yang aku enggan daki.

 

Aku dan Adhoy dulu satu angkatan waktu Sispala, itu lho organisasi siswa pencita alam, waktu kami SMP dan SMA. Tapi, semenjak kuliah, aku memutus ilmu yang ku dapat di Sispala dan beralih ke organisasi lainnya, karena aku anggap 6 tahun selama di Sispala itu cukup. Sedang Adhoy, melanjutkan obsesinya itu dan ikut Mapala, Mapala itu organisasi Mahasiswa Pencita Alam. Dia pun sekarang matang di Organisasi Pencita Alam di bawah kementerian. Kalau aku? cuma karyawan biasa yang gajinya dibawah empat juta, kalah dengan gaji supir Transjakarta di Jakarta.

 

Kopi yang ku seruput  tadi sudah mulai habis, aku memesan satu gelas lagi. Adhoy juga memesan mie rebus dan es teh manis. Rupanya dia lapar usai melawan hujan pulang dari kerjanya.

 

"Kang kopi item hiji deui" kata ku.

"Sama mie rebus telor ya kang pakai bawang putih diiris, jangan pakai sawi" timpal Adhoy. Makanan itu yang biasa kami makin di gunung. Mie dengan bawang putih. Efektif untuk mengusir masuk angin. Itu kata petuah ibu ku yang ku tularkan kepada teman-teman ku. Entah uji klinis dari mana, tapi nyatanya benar kok.

 

Sambil menunggu pesanan, perbincangan kami buka kembali. Masih soal Semeru. Aku ingin dengar cerita soal gunung itu. Gunung tempat meninggalnya Soe Hok Gie, tokoh yang kami banggakan dulu waktu Sispala.

 

"Waktu kemarin itu, (kunjungan Adhoy ke Semeru 2013), kayanya lagi ada pendakian masal"

"Ramai dong, Dhot?"

"Banget. Kayanya sih ada jambore apa gitu. Banyak bocahnya (maksud Adhoy menggunakan kata Bocah adalah orang-orang yang sekedar ikut-ikutan Pencita Alam tanpa tahu esensinya)"

 

Adhoy menyambung ceritanya sambil membakar rokoknya. Katanya, saat pendakian itu, dia mulai kapok dengan Semeru. Bahkan, untuk ke puncak harus antri.

 

"Antrinya kaya ngantri beli bensin kalau malam minggu. Panjaaanng sealaium gambreng Ge"

 

Aku manggut-manggut saja. Toh aku tidak bisa membayangkan bagaimana jalan menuju puncak. Aku belum pernah ke sana pun.

 

"Ada 600an pendaki kalau gak salah waktu itu. Itu termasuk gw sama tiga temen gw" kata Adhoy

"Ngaconya Ge, banyak yang pakai sepatu newbalance sama converse sih" kata Adhoy meyakinkan.

 

Sebelum cerita dilanjutkan, akang tukang warkop mengantarkan pesanan. Mie rebus dengan irisan bawang putih dan es teh manis, serta pesanan ku segelas kopi hitam datang.

 

"Ini mie rebusnya dek" kata si akang yang kira-kira umurnya 45 tahun, ku kira-kira segitu karena tangannya sudah berurat dan rambutnya memutih, tapi mukanya masih muda. Dia lantas menyodorkan mie dengan mangkok yang ada gambar ayam jagonya.  Adhoy lantas sibuk mencari lada bubuk, kecap dan saos untuk tambahan di mie rebusnya.

 

"Ah". Dalam hati ku bergumam.

 

Bukan untuk is akang yang memotong obrolan kami. Tapi soal sepatu tadi. Jadi ingat waktu aku saat pertama kali aku mendaki. Sepatu, tas dan jaket, itu barang yang harusnya yang paling safety selama mendaki. Karena itu yang akan kita kenakan selama perjalanan. Itu kutipan senior ku waktu di Sispala dulu. Namanya Acur, artinya Anak Curang. Entah kenapa dia dinamakan itu, aku tak tahu. Kata senior yang lebih senior, Acur ini kadang curang, suka ngumpetin logistik buat kepentingan pribadi. Meski belakangan, logistik yang diumpetin itu ternyata buat cadangan makanan saat darurat. Menurut ku itu bukan curang, tapi antisipasi. Kok jadi belain bang Acur ya. Tapi benaran terbukti kok. Logistik kalau dia yang pegang memang banyak yang ilang, terus tiba-tiba muncul saat darurat. Kan bukan curang namanya kalau begitu, enggak dimakan sendiri juga, tapi dibagi-bagi juga.

 

Lanjut soal sepatu. Sepatu, kalau bukan yang buat hiking atau adventure, itu akan licin untuk menemani pendakian. Potensi terjatuh makin tinggi. Ya jelas, memang bukan peruntukannya. Belum lagi bentuknya yang ceper dan akan mudah masuk krikil-krikil dan pasir saat berjalan di tempat berpasir. Kalau lumpur dan air jangan ditanya, sepatu yang bukan buat hiking tentu akan menembus. Imbasnya jari-jari kaki mengkisut. Ujung-ujungnya, kalau enggak bau jempol ya masuk angin karena kedinginan. Belom lagi soal sol, kadang sepatu yang bukan peruntukan hiking akan mudah jebol saat dibawa mendaki. Ujung-ujungnya ya nyeker kalau begitu.

 

"Terus yang pake sepatu converse sama newbalance tadi tetap naik?" tanyaku

"Ya. Mau ngapain lagi" jawab Adhoy.

"Bunuh diri"

"Ya kagak lah, kan ada yang jagain Ge,"

"Pe-er buat yang jagain"

"Biarin, mereka dibayar buat jagain kok. Hahaha"

"Hahaha"

 

"Malah, ada yang pakai jaket denim pas mau muncak" kata Adhoy melanjutkan cerita.

"Waw"

"Ngaco ya"

"Hahaha"

 

Aku jadi teringat ajaran lain selagi jadi Sispala dulu. Ada kawan kami, sebut saja Skele, Sketer Lebe. Sketer itu masudnya skater, waktu itu jamannya skateboard lagi booming-boomingnya, skater itu maksudnya pemain skateboard, meski si Skele ini gaya doang yang kaya anak skate tanpa bisa menggunakan papan luncur, gayanya ya berjeans gomgbrong. Dan Lebe, itu maksudnya Lemah Betul.

 

Skele ini enggak pakai celana selama pendakian waktu itu, tapi masih pakai celana pendek dan celana dalam tentunya. Itu selama pendakian pertamanya ke Gunung Gede waktu itu. Dia teman ku di Sispala waktu SMA. Dan saat itu, pendakian ini untuk pendaftaran Caang, calon anggota. Kenapa enggak pakai celana? Karena celananya sengaja dibuang oleh senior kami, namanya Kopral, artinya aku enggak tahu dan enggak ada yang ngasih tahu juga, aku juga enggak mau tahu bagaimana dia mendapatkan nama itu, sebab setiap ada yang bertanya asal muasal nama itu, Kopral selalu marah. "Mau tau nama gw? Lw ambil dulu batu dari Kerinci bawa ke mari, baru gw kasih tau"

 

Lanjut ke celana Skele, celana Skele tadi dibuang, sebab celananya berjenis jeans dengan potongan gombrong. Tentunya itu menyulitkan pendakian apalagi saat hujan. Dan benar saja, saat hujan turun dalam pendakian ini, celana itu diminta dilepas oleh Kopral. Lalu dibuang. Skele yang sayang dengan celana itu memungutnya, alasannya itu celana pemberian ibunya. Kadung sayang, meski celananya ada di bawah, masih dalam jalur pendakian, dia turun untuk mengambilnya dan dikenakannya lagi. Namun, ketika malam datang, Skele pun tertidur. Celananya dibakar sama Kopral. "Celana ginian dibawa, kaga dikasih tahu PDL (maksudnya pakaian dinas lapangan) apa?" kata Kopral saat itu.

 

Setelah di bakar, ya jadinya, Skele ini naik turun gunung cuma pakai celana pendek. Soalnya dia cuma bawa satu celana pemberian ibunya. Hukuman sekaligus pelajaran buat yang lain.

 

"Ini celana nyusahin, masih aja dibawa. Kalau basah jadi berat. Enggak kering-kering. Mana dingin. Mending dibakar sekalian, lumayan bisa ngusir nyamuk" kata Kopral saat Skele tidur.

 

Lalu bocah yang pake denim? Yang ke Semeru tadi? Yang diceritain Adhoy tadi gimana? Tanya ku dalam hati. Ah tidak usah diurus. Dia sudah ada yang jagain. Ingat ku kata Adhoy barusan.

 

"Hahaha" suara tawa kami memecah. Mengingat saat-saat kelam dulu. Untung di warung kopi ini sepi. Cuma kami berdua, satu lagi si akang pedagangnya. Kami lepas saja teriak-teriak. Meski jarum jam panjang sudah ada diangka satu dan jarum pendek ada di angka delapan. Mie rebus Adhoy pun sudah habis. Adhoy pun memesan segelas kopi, kopi susu kesukaannya.

 

"Yang seru waktu Lomba Opsih (operasi bersih-bersih) di Semeru tahun berapa ya gw lupa. Gw juara harapan" kata Adhoy.

"Dapet apaan lu?"

"Dapet sampah dua ton. Gw bolak-balik empat kali ngumpulin sampah. Itu cuma sampai Ranu Kumbolo"

"Maksud gw, hadiahnya apaan Dhoy?"

"Dapet tenda"

"Asik dong"

"Buat sekret lah"

 

"Kaya waktu di Gede dulu Ge. Lu kan cuma dapet 20 kilo, gw dapet 50 kilo. Carrier bang Acur yang lu pake ampe jebol. Jadinya lu kalah ama gw" sambung Adhoy.

"Hahaha. Tasnya bang Acur aja yang emang jelek. Masa bawa segitu aja jebol"

"Hahaha"

 

Waktu itu, sambil kami mengenang, ada perlombaan Opsih di Gunung Gede untuk tingkat Sispala, Mapala dan Orpala (Organisasi Pencita Alam). Kami masuk yang kategori Sispala mewakili Sacapala, organisasi pencita alam di SMA ku dulu. Sacapala itu akronim dari Satu Ciputat Pencita Alam. Aku dan Adhoy didelegasikan untuk hadir di sana. Hadiahnya satu juta untuk kelas Sispala, hanya untuk juara satu, dengan jumlah sampah yang diangkut terbanyak per orangnya dalam sehari. Kami gagal saat itu. Pemenangnya Sispala dari Bogor, membawa sampah satu kwintal, atau 100 kilo. Bocah ajaib, berbadan kecil, lebih pendek dari aku yang saat itu cuma 160 cm, masih kelas 1 SMA, tapi dengan daya angkut yang dahsyat. Namanya Kucet. Ntah lah apa arti nama itu.

 

Cerita ini , sambil aku berpikir memikirkan sampah Semeru tadi, sampai tiga ton sampah di Semeru? Itu Adhoy doang yang bawa. Kalau ada empat aja pendaki yang kaya Adhot, ada berapa ton tuh sampah? Berapa truk tuh? Gila. Monster mana yang berkembang biang menghasilkan sampah? Dari planet mana itu? Apa memang ada peternakan sampah di Semeru? Atau ada Alien yang kalau malam datang ke bumi dan membuang sampah ke Semeru?

 

"Malahan, gw nemu kondom. Anjing. Ke Semeru ada aja ya yang niat buat ngentot. Hahaha" kata Adhoy.

"Hahahaha. Lu ambil jadiin gantungan kunci dong"

"Ogah. Geli gw, takut kena rabies. Kalau lu yang ngeliat lu ambil pasti Ge, buat kenang-kenangan"

"Tai, ya kaga lah. Hahaha"

 

Aku sudah lama tak mendaki, hampir dua tahun, dan yang terakhir itu pun cuma mampir ke Cikuray, Garut atau gunung tertinggi keempat di Jawa Barat. Sedih juga dengar kabar Semeru seperti itu saat ini, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Aku jadi makin kasihan sama gunung itu. Jadi benar-benar pas niat ku tak mau mendaki ke sana.

 

Sejak dulu, sejak Sispala, pencapain Mahameru, puncak Gunung Semeru merupakan khayalan tingkat dewa buat para penganut organisasi ini. Semua kawan ku pun punya niatan ke sana. Tapi tidak buat ku. Beberapa kali Adhoy dan kawan yang lain mengajak, bahkan ada yang menjanjikan menggratiskan ku, tapi aku selalu menolak. Pikiranku cuma satu, "puncaknya 3767 mdpl, itu tinggi lho dan kalau jatuh, pasti mati kalau dari ketinggian itu". Ditambah, Soe Hok Gie juga meninggal di sana. Dia meninggal menghirup asap beracun dari Gunung Semeru saat dari puncak dan hendak turun.

 

Lemah. Mungkin itu cibiran teman-teman ku yang pernah ke sana. "Puncaknya manteb, jalurnya ugal-ugalan," itu yang selalu ditantang kepada diriku. Tapi jawabku? Hanya penolakan. Aku memang selalu suka jika ada jalur pendakian yang menanjak, apalagi sampai berjalan merambat atau memanjat. Ah, mau apalagi aku benar-benar tak punya niatan ke sana, aku takut nyawa. Biar dikata penakut pun aku rela. Wong aku enggak mau karena takut, masa dipaksa. Kalau aku ketakutan, aku paranoid, lalu aku bunuh diri di sana gimana? Ya toh.

 

Tapi mendengar cerita Adhoy barusan, aku jadi semakin yakin untuk tidak ke Semeru. Bila aku datang ke sana, mungkin aku akan memberi kotoran di badan Semeru. Sampah yang tiga ton tadi, mungkin bertambah sekilo dari sampah ku nanti, sampah biologis tepatnya. Kesian kan. Biarlah Semeru yang sudah seperti itu. Toh aku bisa memandangnya kok lewat internet kalau penasaran. Cukup mudah mencarinya. Cukup buka web www.google.com, lalu tulis dikotak pencariannya dengan ketikan "puncak semeru". Nanti akan muncul semua gambar puncak. Bahkan, kalau beruntung mungkin juga mukanya Adhoy ada di situ. Mungkin.

 

Malam pun semakin larut, warung kopi ini juga sudah mau tutup. Sang akang sudah matanya mulau terkatup. Dari dalam kamar, satu ruangan di balik tempat dagangnya, suara sang istri sudah melenguh-lenguh meminta sang akang menemaninya tidur. Di tambah, malam ini malam jumat. Katanya bisa membunuh sejumlah kafir dan jaminanya surga, kata hadis yang kulupa bunyinya, hadis dalam agama ku tentunya.

 

Setelah membayar semua makanan yang ku makan dan minuman yang ku mnum tadi, tiga kopi, satu es teh, mie rebus telor dengan bawang putih, enam gorengan, sebungkus rokok, kami pun beranjak pergi dari tempat itu. Uang selembar Rp50 ribu ke sodorkan ke akang dan aku malah dikasih uang tiga lembar lima ribuan. Aku dan Adhoy pun pulang.

 

Sambil cekikikan, dengan jok motor yang basah kami pulang menerabas jalanan yang masih menyisakan air hujan. Jam pun menunjukan pukul 3.36 WIB, itu di jam telpon genggam ku.

 

Sekian.

 

Yang berperan sebagai "aku", Wage (25). Sejak di SMP dipanggil Wage yang artinya Wajah Gembel dan benar-benar gembel hingga sekarang.

 

Sedangkan tokoh lainnya, Adhoy (25), punya nama panggilan sesungguhnya adalah Adi. Nama Adhoy muncul karena mukanya Adhoy mirip Doyok. Apalagi kalau Adhoy berjalan doyong-doyong. Maksudnya miring-miring ga bisa lurus. Pas udah jadi nama itu, Adhoy, Anak Doyok atau Anak Doyong.

 

 

Noted:

Cerita ini benar-benar fiksi. Tidak ada saduran dan cerita seperti ini yang ditemui di dunia nyata. Semuanya hanya rekaan. Semuanya hanya ada di alam awang-awang. Mohon maklum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun