Maaf sebelumnya, saya akan sedikit berasumsi, berkomentar atau ber-sok-tahu-ria. Sekarang lupakan sejenak masalah tarif dasar listrik yang beranjak naik, lupakan kasus video mesum yang bikin murung anak-anak yang masih ranum, atau lupakan sejenak peliknya kasus Century yang sexy mirip Cut Tary atau bahkan kasus Susno yang bikin melongo. Sekarang saya akan sedikit, maksudnya tak banyak bicara sepak bola. Maklum sekarang musim bola, banyak komentator sepak bola karbitan muncul ikut-ikutan saya juga ingin jadi salah satunya.
Bicara sepak bola saat ini, bicara Worldcup 2010 atau bicara gempita Afsel (Afrika Selatan). Mungkin anak umur 5 tahun juga sudah mengerti. Berita yang jor-joran membuat sepak bola jadi pembicaraan dimana-mana bahkan masuk ke ranah tempat ibadah. Tapi ternyata tanggal 12 Juli 2010 pukul 01.30 Waktu Indonesia Barat nanti gempita Afsel akan padam. Memang karena kontraknya yang sudah habis, sudah sebulan lewat beberapa jam. Kaus kebanggaan, Vuvuzela, Jaboulani dan tetek bengek-nya bahkan sampai stadionnya sendiri di Afsel sana akan jadi sampah, jika tidak diberdayakan secara benar.
Ya, malam nanti, subuh tepatnya, pergelaran final yang ditunggu miliaran warga dunia akan disiarkan pada sebuah kotak ajaib (jika menonton di TV). Ratingnya juga pasti akan ramai dan pastinya modal si penyedia siaran bakal balik. Jelas karena ini adalah industi yang orientasinya adalah UANG.
Sekarang bicara laga final, dan ternyata pertemuan langka ini terjadi. Spanyol dan Belanda. Dua-duanya belum pernah mengangkat piala yang warna dominannya adalah emas dengan sedikit warna hijau yang melingkar di bawah, yang ternyata mirip 3/4 orang mengangkut dunia karya seniman Perancis. tropi yang tentunya banyak ditempelkan, diangkat, dipeluk atau bahkan dicium para pemain yang menang dengan keringat yang super deras.
Belanda. Permainan seadanya yang mengandalkan sisi kiri lapangan teramat berharap oleh Robben dan Sneidjer (mudah-mudahan tulisannya benar). Mudah menandakan Belanda jika sedang bermain, “MENYERANG DARI KIRI”. Padahal mereka punya sisi kanan, tapi tidak digunakan dengan baik, memaksakan. Lalu liciknya Belanda, selicik mereka mengadu domba rakyat Indonesia, dulu 4 abad yang silam. Mereka pandai memancing emosi lawan. Sialnya, pemain Spanyol kebanyakan anak muda. Mengutip secuil lirik, “masa muda, masa yang berapi-api” *Rhoma Irama-Darah Muda, Spanyol pasti mudah terpancing provokasi Belanda.
Spanyol. Pemain muda dengan operan pendek dan cepat yang juga cuma mengandalkan Villa dan Torres sebagai motornya, itu bisa dibaca dengan mudah. Jegal saja si Villa, alur serangan Spanyol pasti akan terhenti. Selain itu, anak muda juga identik dengan gegabah, pastinya Spanyol akan terlihat sradak-sruduk di Johanesburg (sekali lagi mudah-mudahan tulisannya benar) nanti. Jika terpancing emosi (saya rasa PASTI!!) mereka akan kalah. Pengalaman yang kurang (maklum anak muda) membuat Spanyol mudah down menjalani laga ini.
Yah begitu lah, komentar ya cuma komentar, siapapun bisa. Kalau anda percaya ramalan, ikuti saja si Paul, Gurita jelek bau amis yang memilih Spanyol. Atau ikuti Si Burung Parkit hijau yang memilih Belanda. Kalau ikut saya, pilih matikan TV anda, dan tidur. Selain menghemat listrik yang tarifnya beranjak naik, esok kita akan beraktivitas seperti biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H