Pada tahun 2014, Indonesia adakah negara pengkonsumsi rokok terbesar ke empat dunia setelah USA, Rusia, dan China. Angka konsumsi rokok masyarakat Indonesia saat ini cenderung mengalami peningkatan dari 182 milyar batang pada tahun 2001 (Tobacco Atlas 2002), menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009 (Tobacco Atlas 2012).
Efek buruk rokok memang sudah banyak diungkap para ahli kesehatan sebagaimana ditulis dalam kemasan rokok lengkap dengan ilustrasi bagian-bagian tubuh seorang perokok, seperti “Merokok membunuhmu!”. Namun faktanya, para perokok masih terus saja bertambah seiring berjalannya waktu. Hal ini sangatlah memprihatinkan, sebab konsumsi rokok di Indonesia tersebut juga turut menyumbang masalah angka kesehatan global.
Baru-baru ini masyarakat telah dihebohkan kembali oleh wacana kebijakan baru pemerintah terkait dengan kenaikan tarif cukai rokok yang signifikan. Wacana kenaikan tarif cukai rokok secara signifikan ini merupakan hasil studi Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Boleh jadi wacana kebijakan baru ini adalah jawaban atas persoalan diatas. Selain dapat mengendalikan angka konsumsi rokok di Indonesia, kenaikan tarif cukai rokok juga dirasa mampu meningkatkan pendapatan negara.
Saat ini, wacana kebijakan baru tersebut tengah menuai pro kontra dikalangan masyarakat. Pasalnya, naiknya tarif cukai rokok akan memengaruhi harga rokok yang beredar dipasaran. Dengan demikian, wacana kebijakan baru tersebut seharusnya dipertimbangkan lagi terkait dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Terutama nasib jutaan petani tembakau dan buruh industri rokok yang terancam PHK jika penjualan rokok dipasaran nantinya berangsur-angsur menurun? Boleh jadi relokasi adalah solusinya. Namun, kenaikan tarif cukai rokok secara signifikan juga berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal dimasyarakat.
#KamiTidakPanik adalah reaksi spontan yang diberikan oleh netizen terhadap wacana kebijakan baru pemerintah tentang kenaikan tarif cukai rokok. Meme-meme pun mulai beredar di dunia maya sebagai respon terhadap wacana kebijakan tersebut. Jika wacana kebijakan baru tersebut nantinya direalisasikan oleh pemerintah, lantas bagaimana nasib para perokok di negeri ini, terutama dari kalangan ekonomi menengah kebawah?
Solusi utama menanggapi jika wacana kebijakan naiknya tarif cukai rokok nantinya diterapkan di Indonesia ialah berhenti merokok. Seorang perokok beresiko dua hingga empat kali lebih tinggi menderita penyakit jantung dibandingkan bukan perokok. Hasil penelitian ahli kesehatan menyatakan bahwa satu batang rokok mengandung lebih dari 5000 bahan kimia berbahaya diantaranya karbonmonoksida, tar, gas oksidan, benzene, dan lain sebagainya. Bahaya merokokpun sejatinya sudah dijelaskan dalam kemasan rokok sejak beberapa tahun silam .
“Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”, peringatan akan bahaya rokok tersebut jelas bukan? Namun kenyataannya, angka konsumsi rokok di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dengan demikian, tak heran jika salah satu CEO industri rokok ternama di Indonesia mengatakan jika “rokok itu dibikin cuma untuk orang-orang yang nggak bisa baca saja”. Selain tidak bikin kantong bolong dan menunjukan anda sebagai orang yang “tidak buta huruf”. Berhenti merokok juga bermanfaat bagi kesehatan diri anda sendiri, orang-orang tercinta disekeliling kita, serta lingkungan sekitar kita.
Ironisnya, kini sebagian masyarakat malah mulai berencana mengganti konsumsi rokok konvensional menjadi rokok elektrik jika wacana kebijakan naiknya tarif cukai rokok diterapkan bulan depan. Rokok elektrik atau Vapor adalah inovasi teknologi terbaru yang mulai dikembangkan pada tahun 2003 oleh salah satu perusahaan di China. Sebagian masyarakat menganggap rokok elektrik yang dapat digunakan berulang kali ini sebagai solusi atas mahalnya harga rokok konvensional. Disisi lain, rokok elektrik diklaim pula sebagai alat penolong bagi mereka yang kecanduan rokok supaya bisa berhenti merokok.
Namun, pada tahun 2008 WHO (The World Health Organization) justru menyatakan bahwa pihaknya tidak merekomendasikan rokok elektrik dikonsumsi sebagai alat untuk berhenti merokok. Kandungan yang ada didalam refill rokok elektrik itu sendiri juga sangat berbahaya, diantaranya nikotin cair, propilen glikol, gliserin, dan perasa dengan aneka varian. Jika refill rokok elektrik dipanaskan dan menghasilkan uap, jika dihirup si perokok maka akan menghasilkan senyawa nitrosamine yang berpotensi menyebabkan kanker. Naasnya, kini rokok elektrik sudah banyak beredar di Indonesia meskipun status legalitasnya masih dipertanyakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H