“Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi, kalau Bapak-Ibu perasaan enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu, ya, enggak apa-apa. Karena ini, kan, hak pribadi Bapak-Ibu. Program ini jalan saja. Jadi Bapak-Ibu enggak usah merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa pilih Ahok," kata Basuki Tjahja Purnama dalam pidato sambutan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu.
Baru-baru ini statement Basuki Tjahja Purnama yang akrab disapa Ahok dalam pidato sambutan kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu tersebut tengah menjadi viral dalam pemberitaan di negeri ini. Dugaan penistaaan al-qur-an yang notabene kitab suci umat Islam pun mendapat kecaman berbagai pihak mulai dari MUI (Majelis Ulama’ Indonesia), sejumlah ORMAS Islam, hingga masyarakat dari berbagai kalangan. Kendati Ahok telah meminta maaf atas ucapannya yang disinyalir menyinggung kalangan umat Islam. Dugaan isu SARA ini kemudian masih menuai reaksi dikalangan umat Islam (khususnya) sehingga berujung pada terjadinya aksi demonstrasi 4 november sepekan yang lalu.
Sebagai pejabat publik tidak semestinya Ahok melontarkan statement demikian dihadapan publik. Perlu adanya pemilahan bahasa yang tepat ketika berbicara dihadapan publik. Pepatah pernah mengatakan bahwa ‘mulutmu harimaumu’, demikian pula atas kontroversi statement Ahok tersebut yang konotasinya menyinggung suatu golongan sehingga berpotensi menimbulkan konflik SARA. Kecaman dari berbagai pihak, ancaman pidana atas kasus ‘penistaan agama’, hingga berujung aksi demonstrasi 4 november yang tidak hanya terjadi di ibukota Jakarta merupakan akibat dari secuil statement Ahok tersebut. Betapa eksplosifnya secuil statement tersebut bagai api dalam sekam. Hemat saya, setiap orang mestinya berjalan pelihara kaki dan berkata pelihara lidah, terlebih kita sebagai masyarakat Indonesia yang multikultural.
Ironisnya, dalam menyikapi statement Ahok terkait isu ‘penistaan agama’ sekaligus aksi demonstrasi 4 november sepekan yang lalu tidak sedikit netizen yang memanfaatkan media sosial sebagai saluran beropini. Namun tak jarang pula netizen justru memanfaatkan media sosial sebagai ajang provokasi sana-sini. Berdasarkan laporan polisi Nomor: LP/ B/ 649/ XI/ 2016/ JATENG/ RESKA/ SKA, Kantor Bantuan Hukum Bulan Bintang (KBH-BB) Kota Surakarta melaporkan seorang netizen ke Kepolisian Resor Kota Surakarta atas tuduhan penyebaran ujaran kebencian melalui status di Facebook.
Tulisan status yang di-posting pada Sabtu siang, 5 November 2016 sekitar pukul 14.00 WIB ini isinya “Memperjuangkan tidak dengan menjarah! Ahok dan warga Tionghoa harus dihabisi, itulah politik rasis yang mereka gaungkan dalam berbagai aksi, ceramah dan terbitan mereka. Waspadai 1998 sebagai skenario busuk. #IndonesiaDarurat”. Dengan adanya tulisan yang mengandung unsur provokasi di media sosial ini dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah sekaligus memicu terjadinya konflik horizontal. Apalagi, saat ini kondisi masyarakat masih memanas lantaran adanya kasus dugaan ‘penistaan agama’. Hanya karena tulisan yang memuat konten provokasi tersebut, seorang netizen di Surakarta harus berurusan dengan pihak kepolisian setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H