Mohon tunggu...
Bagus Setiawan
Bagus Setiawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah: Taman atau Penjara Bagi Siswa?

9 Agustus 2016   21:12 Diperbarui: 9 Agustus 2016   21:39 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: http://3.bp.blogspot.com/-C3vrJIa7Sy8/UWphrM0h9RI/AAAAAAAAAV4/AxnvwjLJR6s/s1600/sekolah+penjara____.jpg

Pasca reshuffle kabinet kerja jilid II 27 juli 2016 tampaknya telah membawa nama-nama baru. Salah satu nama tersebut diantaranya ialah Muhadjir Effendy, mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI menggantikan Anies Baswedan. Dalam menjalankan tugas baru yang diembannya, Muhadjir mencanangkan sebuah gebrakan baru bagi pendidikan di Indonesia dengan wacana program “Full Day School” untuk jenjang pendidikan SD dan SMP. Latarbelakang dari wacana program baru tersebut ditengarahi oleh penurunan mental anak-anak muda zaman sekarang sehingga perlu sebuah restorasi sejak jenjang pendidikan dasar. Sedangkan orientasi wacana program baru tersebut ialah untuk mencetak generasi yang bermental baja dan tahan banting.

Full day school adalah sistem pembelajaran yang dilaksanakan disekolah dalam kurun waktu sehari penuh. Dengan dilaksanakannya sistem full day school diharapkan mampu membendung pengaruh-pengaruh negatif yang diterima siswa dari luar ketika orang tua siswa sibuk bekerja dan tidak sempat mengawasi anaknya. Disisi lain, full day schooljuga dapat memperkaya wawasan siswa sebab dalam kurun waktu sehari penuh siswa dapat memelajari banyak hal.

Namun wacana program full day school yang dicanangkan Muhadjir ini masih banyak kendala jika dilaksanakan di Indonesia. Kendala terbesar yang berpotensi menghambat kesuksesan program full day schoolialah kompetensi pendidik yang masih cenderung konservatif sehingga yang terjadi hanya sebatas kegiatan pembelajaran yang membosankan. Hal inilah yang kemudian menjadikan wajah sekolah seakan-akan sebagai penjara bagi siswa, bukanlah taman sebagaimana taman siswa yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara sehingga sekolah terkesan sebagai tempat yang menyenangkan bagi penghuninya. Sementara itu, siswa sebagai “anak” juga memiliki peran di lingkungan sosialnya, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar. Jika waktu yang dimiliki siswa hanya dihabiskan di sekolah, maka sudah barang tentu berpotensi memicu terjadinya sosialisasi tidak sempurna serta dapat mengganggu perkembangan psikologi siswa.

Lebih dari itu, masih banyak pula orang diantaranya pendidik yang memahami full day school sebagai penambahan waktu belajar dan materi pelajaran bagi siswa. Dengan demikian, maka akan semakin berat beban yang harus dipikul oleh siswa. Hal ini sangat bertentangan dengan hakikat pembelajaran itu sendiri yang mana siswa bukanlah bejana yang harus diisi, melainkan lilin yang harus dinyalakan. Banyaknya waktu siswa yang tersita di sekolah dengan beban yang sedemikian berat seakan menjadikan siswa ibarat robot. Pemahaman full day schoolyang demikian jika dipraktekan di sekolah, maka tidak sejalan dengan hakikat pendidikan yang memanusiakan manusia sebagaimana pemikiran John Dewey.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun