Pandemi sudah berjalan lebih dari setahun penuh. Banyak hal yang terjadi dari pertama kali pandemi yang disebabkan virus covid-19 ini menyebar ke seluruh belahan dunia. Banyak negara yang tidak mempersiapkan diri atas kedatangan pandemi, beberapa memang dapat selamat karena sudah memiliki persiapan yang cukup namun disaat yang sama ada juga beberapa negara yang hanya dapat mengambil hasil yang buruk dari ketidaksiapan menghadapi pandemi. Indonesia contohnya, tidak hanya tidak siap para pemimpin bangsa ini menganggap remeh kabar hadirnya virus yang ancamannya dapat menyebabkan pandemi seluruh dunia ini. kita tidak dapat melupakan bagaimana pemimpin kita pada saat itu yang harusnya menyiapkan kemungkinan terburuk hanya berkata bahwa "virus ini tidak lebih berbahaya daripada flu" "Rakyat kita kan suka minum jamu, jadi kemungkinan tertularnya juga akan kecil.",
hasil akhir dari sikap tidak bertanggung jawab tersebut adalah, banyaknya korban jiwa dari masyarakat, beban tenaga Kesehatan dari dokter, perawat sampai apoteker yang harus terus merawat pasien yang terjangkit dengan ancaman kematian, ditambah harus membuat penyebaran virus ini tertahan. Tidak hanya sampai sana, sektor esensial seperti Pendidikan juga menjadi korban, banyak peserta didik yang pada akhirnya mendapatkan Pendidikan yang kurang efektif, diperlakukan kurang pantas dan masalah lainnya. Namun permasalahan tidak hanya berhenti di sana. Ekonomi menjadi salah satu sektor yang paling parah terdampak. Banyak industri di sektor ini hampir lumpuh karena hadirnya pandemi yang menyerang,
Mengingat bagaimana pandemi pertama kali hadir rasanya begitu mengerikan, banyak masyarakat yang terjangkit dan tidak tahu harus berbuat apa, ketakutan melanda semua orang dan bahkan ada kelas pekerja yang harus kehilangan pekerjaannya dengan situasi yang padahal mereka sangat membutuhkan pekerjaan tersebut. Para pengusaha juga tidak dapat melakukan banyak hal pada keadaan seperti itu. Apa yang mereka bangun dengan keringat terancam hilang selamanya dan tentu saja ada keputusan yang harus diambil. Tidak hanya mempersedikit pengeluaran, disaat yang sama keputusan tersebut mencoba mencegah penularan virus terjadi lebih masif lagi.
Food and Beverage adalah salah satu industri di sektor ekonomi. Industri ini bergerak dibidang pelayanan, produksi makanan dan minuman, juga penyediaan tempat.Â
Industri ini menjadi salah satu yang dapat dibangun dengan mudah, khususnya di kelas menengah ke bawah, dimana UMKM yang kebanyakan dibangun oleh masyarakat bergerak di sektor makanan dan minuman. Namun industri ini menjadi salah satu yang paling terdampak dari hadirnya pandemi.Â
Industri penyedia makanan dan minuman ini sering kali berfokus pada pilihan dine in dimana pelanggan diharapkan dapat menikmati makanan di tempat sambil berinteraksi dengan kerabat maupun keluarganya.Â
Tapi hal ini sudah sulit dilakukan karena beberapa alasan. Pertama adanya peraturan untuk membatasi kapasitas pelanggan yang dapat makan ditempat, dan bahkan pernah sama sekali tidak boleh untuk makan di tempat, kenapa demikian. Karena sayangnya dine in menjadi salah satu pilihan yang membawa risiko paling tinggi untuk membiarkan virus yang masih ada di sekitar kita ini menjangkit orang lain. Mengutip dari Health Detik studi yang dilakukan oleh CDC di Amerika Serikat menganalisis 314 orang dewasa yang memiliki gejala virus Covid-19 pada bulan Juli 2020. 154 dinyatakan positif dan menunjukkan jejak perilaku dimana mereka memiliki tingkat interaksi yang tinggi, dan Sebagian besar juga sering melakukan dine in di beberapa tempat makan. CDC pun mengeluarkan pedoman yang menjelaskan risiko yang ditimbulkan dari pilihan yang pelanggan dapat ambil, dimana pilihan dine in khususnya di tempat yang tidak menerapkan pemberian batasan jarak dan juga pengurangan kapasitas memiliki risiko penularan virus yang sangat tinggi. Dan pilihan lainnya adalah untuk melakukan take away, drive-through, dan pemesanan online.
Dikutip lewat WartaEkonomi Rochim mengatakan bahwa pandemi yang sudah berjalan lebih dari satu tahun ini mengubah pola konsumsi masyarakat, dimana masyarakat memanfaatkan fitur pemesanan online yang lebih mudah dan juga membuat mereka lebih kecil kemungkinan terjangkit virus covid-19. Hal ini dapat dilihat baik dari segi konsumen. Ada kemudahan yang ditawarkan dan membuat sektor ini terus berinovasi ditengah kondisi yang memprihatinkan ini.
Tapi ada sisi lain yang tidak terlihat. Mengutip dari CNN. Perhimpunan Hoten dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat sekitar 1600 restoran tutup sejak tahun 2020 sampai awal tahun 2021. Kebanyakan alasan tutupnya restoran tersebut karena tidak mampunya restoran bertahan ditengah pandemi yang membuat sirkulasi keuangan menjadi sangat buruk. Penutupan restoran ini akhirnya membuat ada ribuan pegawai tidak memiliki pekerjaan, dan ditengah keadaan ini sangat sulit untuk bisa mendapatkan pekerjaan bagi pegawai yang menjadi korban tutupnya ribuan restoran tersebut.
Dalam keadaan seperti ini, restoran atau tempat makan harus mulai dapat melihat lagi dengan baik dan memikirkan keputusan yang bisa diambil. Tujuannya agar keputusan yang diambil tidak terburu-buru dan sudah melewati pertimbangan yang matang.
Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menjadi bahan pertimbangan dari keputusan yang akan diambil adalah Sustainability Compass sebuah panduan pengambilan keputusan untuk organisasi atau perusahaan yang berfokus kepada dampak berkelanjutan dan visi bersama untuk mencapainya. Pertama kali dikembangkan oleh Alan AtKisson pada tahun 1997, Sustainability Compass ini telah digunakan oleh perusahaan, komunitas, organisasi, sekolah, dan universitas di seluruh dunia. Dimana melihat kondisi pandemi saat ini dampak berkelanjutan yang dijadikan target adalah, bahwa kebijakan yang akan diambil dapat menjaga semua orang tetap aman dari terjangkitnya virus covid-19 dan juga bisa memberikan kesempatan kerja bagi Sebagian orang yang sangat membutuhkan di tengah perjuangan selamat melawan pandemi.Â