pendidikan. Perkembangan teknologi, cara berpikir, serta metode pendidikan berubah begitu cepat. Kurikulum pun selalu berkembang mengikuti arus ini, menyesuaikan diri dengan perubahan pemerintahan dan kepemimpinan politik.
Perubahan adalah bagian tak terhindarkan dari perjalanan hidup dan pekerjaan kita, khususnya dalam duniaPerkembangan kurikulum di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan sejak 1947 hingga Kurikulum Merdeka saat ini. Perubahan kurikulum secara bertahap menyesuaikan kebutuhan perkembangan zaman, mulai dari fokus pada pembentukan karakter bangsa (1947), penyusunan materi berbasis kehidupan sehari-hari (1952), pembelajaran aktif (1984), hingga pendekatan berbasis kompetensi (2004) dan otonomi sekolah dalam penyusunan kurikulum (2006). Pada 2013, Kurikulum 2013 memperkenalkan pendekatan saintifik dan pendidikan karakter yang terintegrasi. Kurikulum Merdeka, yang diterapkan sejak 2022, menekankan fleksibilitas, pembelajaran berbasis proyek, dan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa (differentiated learning) untuk membentuk Profil Pelajar Pancasila.
Jadi perubahan kurikulum ini bukan hal baru---perubahan kurikulum sudah menjadi hal biasa yang akan terus terjadi. Namun, sayangnya, terkadang masih ada anggapan kurikulum  sekadar pemenuhan administratif, pelatihan-pelatihan sebatas menyampaikan teori-teori, seremonial penuh dengan hal hal rutinitas kebiasaaan pola-pola lama  dan lebih banyak hal yang menyulitkan kita sebagai guru. Anggapan ini menyebar melalui tulisan dan konten-konten media sosial
Di sinilah muncul pilihan kita. Kita bisa memilih antara dua sikap utama dalam menghadapi perubahan ini.
- Pilihan pertama: Kita bisa terjebak dalam debat yang berkepanjangan, sinisme, menyalahkan kurikulum, atau bahkan menyalahkan pemerintah, rekan kerja, dan kebijakan-kebijakan di sekolah. Kita mungkin merasa tergoda untuk menyebarkan keluhan dan hoaks, atau membiarkan diri kita larut dalam nyinyiran yang tidak membawa solusi. Mengumpat atau marah kepada pihak-pihak yang tidak langsung berhubungan dengan kita hanya akan merusak suasana kerja dan membuat energi kita terkuras tanpa hasil positif.
- Pilihan kedua: Kita bisa memilih untuk bersikap positif dan mencari solusi terbaik. Setiap kebijakan dan kurikulum baru pasti memiliki sisi yang bisa kita sesuaikan sesuai dengan karakteristik sekolah kita masing-masing. Kita bisa menjaga suasana kerja yang kondusif dengan tidak menyebarkan hoaks atau keluhan yang tak berdasar. Menyikapi perubahan dengan cara yang konstruktif adalah langkah bijak yang mendukung keharmonisan di lingkungan sekolah kita.
Berikut adalah tabel yang merangkum dua sikap utama dalam menghadapi perubahan kurikulum dan kebijakan, dengan tambahan hal-hal relevan yang dapat membantu guru lebih memahami pilihan yang lebih positif:
  Dengan memilih sikap yang positif, kita sebagai guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang tidak hanya baik untuk siswa, tetapi juga harmonis bagi kita semua di sekolah. Tetap ingat bahwa perubahan adalah bagian dari perjalanan, dan dengan bersikap positif, kita dapat lebih mudah beradaptasi dan mendukung tujuan pendidikan yang lebih besar.
Jika kita memang memiliki saran atau kritik terkait kebijakan, ada saluran-saluran yang tersedia untuk itu. Kita bisa menyampaikan ide-ide kita melalui media sosial atau website dengan cara yang bijaksana, atau bahkan melalui wakil rakyat atau institusi terkait. Menyampaikan aspirasi dengan cara yang tepat akan lebih efektif daripada sekadar berteriak di sekolah atau di media sosial yang mungkin hanya menambah beban rekan kerja dan lingkungan kita
Ingatlah, jangan dulu  mengatakan bahwa kurikulum itu  sulit; anggaplah itu sebagai tantangan. Sikap fleksibel sangat diperlukan. Jika kita merasa kurikulum terlalu sulit, jangan-jangan kita yang tidak proaktif atau tidak meluangkan waktu untuk belajar atau belum  mau belajar.
Berikut adalah perbandingan antara sikap dan pemikiran guru positif dan negatif di sekolah, yang mencakup perilaku terhadap rekan kerja, kepala sekolah, siswa, dan diri sendiri: