[caption id="attachment_154453" align="alignleft" width="300" caption="Johnny Karunggu, Korban meninggal dalam sel akibat penyiksaan"][/caption] Teror, intimidasi, penangkapan, penyiksaan dan melayangnya banyak nyawa terus terjadi, akibat konflik politik yang berkepanjangan di Tanah Papua sejak tahun 1961, dimasa reformasi bahkan di masa otonomi khusus (otsus) Papua. Tidak ada niat baik pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM sebagai upaya merebut hati orang Papua, namun justru dipandang sebagai manusia yang tidak berharga di atas tananya. Pelanggaran hak asasi manusia tersebut justru terus meningkat. Berbagai kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat sipil di Papua bertumpuk, tanpa memberikan rasa keadilan, akhirnya menjadi batu kerikil bagi pemerintah dan menimbilkan ketidak percayaan rakyat Papua terhadap NKRI semakain memuncak.
Semua perlawanan rakyat Papua yang menuntut hak dalam semua aspek kehidupan dipandang separatis lalu distigma sehingga berakhir dengan ketidakadilan bagi korban, akibatnya menimbulkan rasa benci dan kepercayaan terhadap NKRI telah runtuh karena hukum benar-benar tidak menjamin hak hidup orang Papua, namun demi negara manusia sama sekali tidak bernilai dan berharga dibanding kekayaan alam di Papua.
Pepera 1969 tidak ada unsur demokrasi, hak asasi manusia dan tidak memenuhi asas hukum internasional, namun hasil Pepera memenuhi unsur manupulasi dan rekayasa karena rakyat Papua saat itu melakukan Pepera dalam tekanan dan pembohongan. Ini bukti bahwa Indonesia merebut Papua hanya kepentingan ekonomi dan membawa malapetaka, bukan membebaskan rakyat Papua secara utuh dari segalah aspek kehidupan.
[caption id="attachment_154455" align="alignleft" width="300" caption="Daut Sihombing dan Johni Wainal Usman, Pelaku Kejahatan kemanusiaan kasus Abepura 2000"][/caption] Kasus Abepura berdarah 7 Desember 2000, adalah puncak dari gunung es yang namanya pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Komisi penyelidik pelangaran HAM Abepura (KPP HAM Abepura) yang terdiri dari unsur KOMNAS HAM, LSM dan gereja yang dibentuk oleh komisi nasional hak asasi manusia pada tahun 2001 telah melaporkan kasus Abepura ke KOMNAS HAM Jakarta, dan hasilnya menyatakan bahwa kasus Abepura telah berhasil mengumpulkan fakta dan bukti yang menunjukan indikasi kuat bahwa dalam peristiwa Abepura 7 Desember 2000 telah menjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan secara sistematik serta meluas berupa penyiksaan, pembunuhan kilat, dan penganiayaan, perampasan kemerdekaan dan perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenag-wenang yang ditunjukan kepada sekelompok sipil yang merupakan kejahatan kemanusiaan dan kategori pelanggaran HAM, dan juga tidak terbatas pada perusakan dan perampasan barang milik pribadi. Korban dalam kasus ini 105 orang, 2 diantaranya meninggal dalam sel kapolresta Jayapura akibat penyiksaan,1 orang ditembak mati dan 22 orang lainya disiksa, dihina serta ditangkap secara sewenang-wenang.
Namun dalam keputusan sidang di pengadilan HAM permanen di Makassar 8-9 Sebtember 2005, para hakim memutuskan, 2 orang pelaku, Jonny Wainal Usman dan Daud Sihombing dibebaskan tanpa jeratan hukum satupun justru memberikan impunitas (pengampunan) kepada pelaku kejahatan kemanusian. Persidangan itu telah berakhir dengan tangisan dan histeris para korban dan perjuangan korban hanya menjadi sebuah tragedy yang berakhir dengan tragis.
Lalu bagaimanan dengan nasib kasus Wasior dan Wamena kategori kasus pelanggaran HAM berat, dan berkas-berkasnya dilimpahkan kepada kejaksaan Agung Jakarta, namun sampai hari ini, dokumen kedua kasus tersebut telah hilang tanpa kabar, barang kali menjadi sarang kakarlak atau sudah dibakar. Kalaupun disidangkan, tidak mungkin akan memberikan keadidaln bagi korban dan rakyat Papua. Karena berdasarkan pengalaman  kasus Abepura dan juga kasus-kasus yang terjadi didepan mata saat ini, tidak satupun memberikan keadilan bagi rakyat Papua.
Berangkat dari pengalaman tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, ketidakadilan itu berakhir ketika komplik politik itu berakhir pula, karena korban masyarakat sipil selalu dikaitkan dengan masalah politik di Papua, dan  bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan tidak pernah mendapat efek jerah, melainkan lolos dari jeratan hukum dan justru memberikan legistimasi kepada negara melalui alat kekauasaan yakni TNI dan Polri untuk terus melakukan kekerasan di Tanah Papua.!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H