[caption id="attachment_322467" align="aligncenter" width="372" caption="beritatrans.com"][/caption]
Setelah mengulas masalah kasus pajak yang ada di BCA, saya jadi tertarik dan mulai mencari tahu lebih jauh kasus-kasus pajak yang ada di Indonesia. Saya mendapatkan sebuah kesamaan kasus yang terjadi di beberapa perusahaan besar di Indonesia, seperti Bakrie Group, BCA, PT. Metropolitan Retailmart, Asian Agri, Berau Coal, dan lain sebagainya. Kasus manipulasi pajak ini rupanya tidak hanya terjadi sekali, melainkan begitu banyak perusahaan yang terlibat dalam kasus tersebut.
Masih ingatkah pembaca dengan nama Gayus Tambunan, seorang petugas pajak yang menerima suap terkait pengurusan permohonan keberatan pajak. Kasus Gayus sama dengan kasus pajak yang menimpa Hadi Poernomo, dan BCA.
Gayus Tambunan dipidana karena terbukti menerima suap uang sebesar Rp 925 juta rupiah dari Roberto Santonius terkait kepengurusan gugatan keberatan pajak PT Metropolitan Retailmart dan menerima 3,5 juta dollar Amerika dari Alif Kuncoro terkait kepengurusan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Bumi Resource.
Gayus Tambunan dinilai telah terbukti menerima suap dan melakukan tindak pencucian uang dari tiga perusahaan Bakrie Group senilai 7 juta dollar AS, lalu membagi uang itu ke Alif Kuncoro, Imam Cahyo Maliki, Maruli Pandapotan Manurung, dan pejabat-pejabat di Ditjen Pajak lain. "Saya terima tiga juta dollar AS," kata Gayus.
Gayus menjelaskan sumber dana yang dia terima ketika masih bekerja di Direktorat Jenderal Pajak, yakni dari PT Bumi Recources, PT Arutmin, dan PT Kaltim Prima Coal. Dengan suap tersebut Bakrie Group menginginkan Gayus Tambunan melakukan tiga pekerjaan, PT Bumi Resources mengajukan banding tahun 2005, Gayus diminta untuk membuatkan surat banding, surat bantahan-bantahan, dan termasuk persiapan apa saja yang dibutuhkan dengan imbalan sebesar 3 juta dollar AS yang kemudian ia bagikan kepada Alif Kuncoro, Imam Cahyo Maliki, Maruli Pandapotan Manurung.
Serupa dengan kasus Gayus Tambunan dengan sejumlah perusahaan terkait pengurusan permohonan keberatan pajak, kasus yang sama juga terulang di tubuh Bank BCA dengan Hadi Poernomo-nya, namun bedanya apabila kasus Gayus sudah tuntas, kasus penggelapan pajak yang menyeret PT. Bank BCA Tbk dalam daftar hitam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih saja belum mencapai kata final sejak dibukanya penyelidikan pada tahun 2003 silam.
Peran Hadi Poernomo dalam kasus pajak BCA diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirjen Pajak dengan dengan membuat Surat Keputusan (SK) yang melanggar prosedur terkait permohonan keberatan wajib pajak yang disampaikan oleh pihak Bank BCA. Hadi Poernomo selaku dirjen pajak diduga memanipulasi telaah direktorat PPH mengenai keberatan SKPN PPH BCA. BCA mengajukan surat keberatan wajib pajak dengan nilai yang cukup fantastis yakni sebesar Rp 5,7 triliun terkait kredit bermasalah-nya atau  non performance loan (NLP) kepada direktorat PPH Ditjen Pajak pada 17 Juli 2003.
Setelah ditelaah oleh Direktorat PPH, permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan BCA ditolak, namun oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak mengintruksikan Direktur PPH yang semula menolak menjadi menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak yang dilayangkan pihak BCA sehari sebelum masa jatuh tempo pemberian keputusan final.
Oleh putusan Hadi Poernomo tersebut, diyakini BCA telah merugikan negara dengan tidak membayar pajak sebesar Rp 375 miliar.
Selain itu, keputusan Hadi Poernomo mengabulkan permohonan keberatan pajak yang diajukan BCA juga semakin terasa janggal apabila mengingat hal serupa juga dilayangkan Bank Danamon perihal keberatan pajak atas nilai transaksi sebesar Rp 17 triliun tetapi ditolak oleh pengadilan pajak. Anehnya, hal ini serupa namun hasilnya berbeda.