BANDUNG, Kompasiana -- Bandung, kota yang dikenal sebagai Paris van Java, kini menghadapi masalah serius yang tampaknya tidak kunjung usai. Di balik pesona keindahan dan daya tarik wisatanya, ada tumpukan sampah sisa makanan yang semakin hari semakin menggunung. Masalah ini bukanlah hal baru, namun upaya untuk mengatasinya tampaknya belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Sejak beberapa tahun terakhir, volume sampah sisa makanan di Bandung terus meningkat. Dari warung makan, restoran, hingga rumah tangga, limbah organik ini semakin menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti dan Legok Nangka. Berbagai upaya dan program telah dilakukan oleh pemerintah kota untuk mengatasi masalah ini, namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Sampah sisa makanan menjadi salah satu masalah utama di kota Bandung. Setiap harinya, ratusan ton sampah organik dihasilkan oleh berbagai aktivitas masyarakat. Sampah ini terdiri dari berbagai jenis makanan yang tidak habis dikonsumsi, baik dari rumah tangga, restoran, hotel, hingga pasar tradisional. Masalah ini diperparah dengan minimnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah sisa makanan. Banyak warga yang masih membuang sisa makanan begitu saja tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan.
Sampah sisa makanan yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan berbagai masalah lingkungan. Salah satunya adalah pencemaran tanah dan air. Saat sampah sisa makanan membusuk, ia akan menghasilkan cairan lindi yang dapat meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Selain itu, pembusukan sampah organik juga menghasilkan gas metana, yang merupakan salah satu gas rumah kaca yang berpotensi mempercepat perubahan iklim.
Sistem pengelolaan sampah di Bandung masih jauh dari kata optimal. Infrastruktur pengelolaan sampah yang ada belum mampu menangani volume sampah yang terus meningkat. TPA Sarimukti sering kali kelebihan kapasitas, sehingga sampah menumpuk dan menciptakan pemandangan yang tidak sedap dipandang serta mengeluarkan bau yang tidak menyenangkan. Kondisi ini juga berdampak negatif pada kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA.
Pemerintah kota Bandung telah mencoba berbagai inisiatif untuk mengatasi masalah ini. Salah satu program yang pernah diluncurkan adalah kampanye pengurangan sampah sisa makanan melalui gerakan "Kang Pisman" atau Kurangi Pisahkan dan Manfaatkan. Kampanye ini bertujuan untuk mengajak masyarakat mengurangi sampah sisa makanan dengan cara lebih bijak dalam mengonsumsi makanan dan memanfaatkan sisa makanan yang masih bisa dikonsumsi. Namun, kampanye ini belum sepenuhnya berhasil mengubah kebiasaan masyarakat.
"Kalau efektivitas Kang Pisman, bisa dilihat dari jumlah penurunan sampah sebanyak 16%. Berdasarkan faktanya, walaupun perencanaan kami 30%, kita bisa mengurangi sampah yang dibuang ke TPA," ucap seorang Penyuluh Lingkungan Hidup Ahli Muda Bidang Pengelolaan Persampahan dan Limbah B3 (PPLB3), Luthfi Budiman.
Selain itu, pemerintah juga telah membangun beberapa fasilitas pengolahan sampah organik. Fasilitas ini bertujuan untuk mengolah sampah sisa makanan menjadi kompos yang bisa digunakan sebagai pupuk. Namun, fasilitas ini belum beroperasi secara optimal karena berbagai kendala, mulai dari keterbatasan dana hingga kurangnya tenaga ahli yang mampu mengoperasikan teknologi pengolahan sampah.
Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya pengelolaan sampah sisa makanan harus terus dilakukan. Sekolah-sekolah, komunitas, dan organisasi masyarakat harus aktif terlibat dalam kampanye pengurangan sampah sisa makanan. Selain itu, peran media massa juga sangat penting untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat.
Beberapa inisiatif lokal telah muncul sebagai upaya untuk mengatasi masalah ini. Komunitas-komunitas seperti Bank Sampah dan kelompok pengomposan di berbagai daerah di Bandung mulai berperan aktif. Mereka mengajak masyarakat untuk lebih peduli dan terlibat langsung dalam pengelolaan sampah sisa makanan. Bank Sampah, misalnya, mengajak warga untuk mengumpulkan sampah sisa makanan yang masih bisa diolah menjadi kompos. Kompos ini kemudian dijual atau digunakan untuk kegiatan pertanian di sekitar kota Bandung.