Bayang-bayang laut Aegean menemani saya pergi menuju objek rekreasi berikutnya. Ryan menyatakan kami akan pergi ke sebuah kota yang bernama Pamukkale. Dalam bahasa Turki, nama tersebut diartikan cotton castle atau Kastil Kapas. Ada yang  menerjemahkan dengan istilah Istana Kapas atau Benteng Kapas. Tak masalah jika ingin dialihbahasakan menggunakan terma apa saja.Â
Hal penting yang harus diketahui adalah kapas yang dimaksud bukan bermakna secara literal, itu hanya sekedar kiasan. Mengapa? Menurut Jihan, jika dipandang dari kejauhan, maka cotton castle akan terlihat seperti tumpukan kapas yang tinggi dan luas. Padahal, Pamukkale merupakan endapan batuan alami yang mengandung kalsium karbonat dan membentuk kolam bertingkat-tingkat (travetines) yang menjadi tempat sumber air panas. Karena endapan bewarna serba putih dan sangat berkilau, maka akhirnya dinamakan cotton castle.
Sebelum menuju Kastil Kapas, kami terlebih dahulu melalui kota kuno Hierapolis karena berada dalam kawasan yang sama. Dalam bahasa Yunani, istilah tersebut diartikan sebagai Kota Suci (Holy City) karena sempat menjadi tempat bermukimnya penganut agama Yahudi dan Kristen. Kini, Hierapolis telah menjadi reruntuhan karena hancur akibat gempa sebagaimana kota Ephesus. Hal itu yang membuat tempat tersebut dialihfungsikan menjadi museum arkelogi.Â
Ketika kami sampai melewati pintu gerbang kota Hierapolis, sungguh cukup menyedihkan. Tak seperti Ephesus yang masih banyak memiliki objek-objek bersejarah, bekas Holy City tampak sangat usang dan kering. Sampai-sampai Jihan sendiri tak terlihat bersemangat untuk menceritakan bagaimana sejarah kota Hierapolis. Namun, saya tak lekas untuk melewati pengalaman berjalan di situs kuno itu tanpa pemahaman.Â
Saya mulai membaca papan informasi yang dekat dengan pintu gerbang masuk. Di sana, tertulis bahwa tempat yang dijadikan sebagai jalan utama bagi para wisatawan dulunya merupakan The Southern Byzantine Gate atau Gerbang Bizantium bagian Selatan. Gerbang itu didirikan pada awal abad ke---5. Mungkin pada masanya begitu menarik dan artistik. Sekarang, hanya tersisa bagian pintu masuk saja (mungkin karena telah direnovasi). Adapun bagian samping kanan dan samping kiri---yang lumayan lebar- rata-rata hanya tersisa tonggak batu yang bertumpuk.
Sebenarnya, isi tempat-tempat yang berada di dalam kawasan kota Hierapolis kurang lebih sama seperti Hierapolis. Seperti adanya gimnasion, pasar, pemukiman, tempat pemandian umum, pemakaman, teater, dan kuil-kuil. Namun, jaraknya agak berjauhan dan itu---salah satu alasan- yang membuat keluarga kami tak mengunjungi satu per satu. Saya cukup menyesal karena tak berupaya secara mandiri mendatangi ke berbagai objek historis di kota Hierapolis.Â
Sebagaimana pengalaman yang dicatat Magdalena ketika dirinya mengunjungi salah satu peninggalan klasik di sana, teater, yang disebut "satu-satunya sisa bangunan yang masih berdiri dengan megah". Letaknya sangat strategis, yakni di atas perbukitan. Sehingga, jika berdiri di sana, dapat terlihat seluruh penjuru sisa reruntuhan kota kuno itu. Selain karena jauhnya jarak, kami tak datang ke sana karena sedang dalam perjalanan menuju cotton castle; destinasi utama yang dinanti-nati oleh hampir seluruh anggota keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H