Mentari kian lama segera digantikan dengan bulan. Meski begitu, sore masih begitu terik layaknya waktu siang hari di ibukota Jakarta. Setelah dari kota Ephesus, kami harus melanjutkan perjalanan menuju Kusadasi, sebuah kota yang dalam bahasa Turki berarti Pulau Burung. Akar katanya adalah kuş yang artinya burung, dan ada yang didefinisikan sebagai pulau. Nama itu diberikan karena jika dilihat dari laut, maka pulau tersebut tampak seperti bentuk kepala burung.
Kota Kusadasi berada di sekitar laut Aegean. Kami dapat melihatnya secara jelas ketika Jihan mengajak untuk mengambil foto di area spot yang telah disediakan bagi para wisatawan. Lokasinya berada di atas laut Aegean yang tampak tak bertepi. Dari sana pula kami bisa memandang Ladies Beach atau Pantai Wanita. Ketika periode Ottoman, hanya wanita yang diizinkan berenang di sana. Setelah pengaruh sekulerisme menyebar di Turki, kini kaum pria juga berhak untuk berenang di pantai tersebut.
Sehabis beberapa kali kami mengambil foto, saya membaca sebuah kisah singkat Mustafa Kemal Atatürk, seorang presiden dan pendiri pertama Republik Turki, ketika dia mengunjungi Kusadasi.
Cerita itu tertera dalam sebuah papan informasi di sana. Secara ringkas, tertulis kenangan yang dicatat olehnya saat pertama kali mengunjungi Kusadasi. Karenanya, tempat di mana kami dapat melihat panorama dari area atas spot foto disebut Gazibeğendi Hill atau Bukit Gazibeğendi.
Secara literal, Gazibeğendi dimaknai sebagai “loved by The Veteran” alias dicintai oleh veteran atau bekas pasukan perang. Kata veteran disematkan kepada Atatürk karena dia adalah seorang mantan perwira militer dan pemimpin yang sangat diagung-agungkan oleh sebagian warga Turki. Lantaran hal tersebut, saya tidak heran jika terdapat patung Kemal Atatürk di sekitar lokasi.
Berikutnya, kami turun ke Ladies Beach yang jaraknya sangat dekat dengan Bukit Gazibeğendi. Kami hanya perlu berjalan kaki sekitar 700 meter dari tempat parkir bus yang berada kurang lebih 500 meter dari bukit.
Suasana di sana sangat sepi, hanya ada dua orang yang sedang berkunjung ke pantai, itu pun—sepertinya- warga lokal. Berkat itu pula kami memperoleh kenikmatan untuk meresapi suara ombak laut, desir pasir di pantai, serta angin yang bergerak secara berangsur-angsur dan perlahan.
Sesudah merenung sesaat, Ryan menawarkan diri memotret kami, tepatnya hanya keluarga inti saya. Memang, latar belakang untuk pengambilan foto cukup menakjubkan. Seolah-olah alam mendukung kami untuk mengambil gambar yang sulit untuk dilupakan.
Tak lama berselang, kami diantarkan menuju hotel yang bercokol di dekat laut Aegean. Saya mendapatkan kamar yang berpapasan dengan pemandangan lautan yang sangat mencekam, dengan suara debur gelombang air yang membahana.