Walaupun Mahkamah Konstitusi hadir sebagai lembaga tinggi negara yang bebas intervensi dari pihak manapun, tetap saja kerancuan hukum akan berakibat fatal terhadap konstitusionalitas suatu Undang-Undang yang berkaitan dengan hak asasi yang harus didapatkan manusia. Padahal dalam supremasi hukum kepentingan umum harus tercapai dalam praktik secara substantif dan tidak selalu bergelut dalam kodifikasi yang minim implementasi. Â
 Mahkamah Konstitusi memiliki Visi yaitu "Menegakkan konstitusi melalui peradilan yang modern dan terpercaya", Visi tersebut seolah musnah ketika kita melirik terhadap kasus yang menimpa Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia, dimana ia menerima suap dari Bupati Buton terkait sengketa Pilkada 2011-2012.
Pepatah yang mengatakan "Mati satu tumbuh seribu" ternyata juga berlaku dalam kubu Mahkamah Konstitusi yang digadang-gadang akan menjadi pengawal konstitusi Negara Republik Indonesia. Bagaimana tidak, belum habis satu perkara datang lagi Salah satu hakim dari Mahkamah Konstitusi yaitu Patrialis Akbar sebagai tersangka dugaan suap uji materil UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Dari dua kasus tersebut Mahkamah Konstitusi harus berbenah, terutama dalam pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi yang kerab tidak transparan dan bertentengan dengan Undang-Undang. apalagi Mahkamah Konstitusi sebagai suatu Lembaga Peradilan Tinggi negara yang harusnya mengadili bukan diadili.
Dikutip dari Indonesian Corruption Watch setidaknya ada lima putusan Mahkamah Konstitusi yang berpotensi merusak citranya di mata publik terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang cenderung tidak berpihak terhadap pemberantasan korupsi seperti : Perluasan objek praperadilan, mantan narapidana dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), larangan jaksa dalam mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan berkekuatan hukum tetap, mantan terpidana korupsi yang boleh mengikuti Pilkada daerah, dan yang terakhir penghapusan pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi. Setidaknya lima itu menjadi poin penting yang harus diperhatikan Mahkamah Konstitusi terkait tugajsnya sebagai  pemangku kepentingan publik.
Harapan Saya Selaku Warga Negara
Dalam konsep kewarganegaraan para ahli sepakat bahwa yang disebut warga negara adalah setiap orang yang mendapatkan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dua hal tersebut haruslah terpenuhi secara substantif dalam bermasyarakat. Konstitusi menjamin dua hal itu harus terpenuhi, jika tidak maka hilanglah arti demokrasi yang kedaulatan haruslah berada ditangan rakyat.
Berangkat dari keraguan akan sistem pemerintahan Indonesia yang tercoreng oleh oknum-oknum yang sengaja membunuh moralitasnya sendiri demi kepentingan individual, tentu segenggam harapan turut hadir demi mencapai kepentingan bersama yang berlandaskan asas keadilan.
Setidaknya Mahkamah Konstitusi harus sejalan dengan tugas dan fungsinya sebagai suatu lembaga yang menjamin nilai konstitusional terpenuhi secara komprehensif dalam menegakkan prinsip berkeadilan. Apalagi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dengan kecenderungan masing-masingnya.
Mahkamah Konstitusi harus menjadi penanggung jawab dari hak konstitusional yang sering mengalami ketidakpastian. Setidaknya dalam melakukan Peninjauan ulang Mahkamah Konstitusi tidak boleh beranjak dalam tiga prinsip hukum yaitu : Struktur, substansi, dan budaya. Hal tersebut dapat dilakukan agar terpenuhnya nilai-nilai yang terkandung dalam produk hukum yang akan diterapkan kepada masyarakat agar terciptanya harmoni dalam ruang lingkup bermasyarakat.
Mahkamah Konstitusi yang hadir sebagai penjaga gawang konstitusi Republik Indonesia tentu saja juga memiliki kinerja yang patut diacungi jempol. Walaupun ada beberapa permasalahan yang cukup menggores kepercayaan publik, Mahkmah Konstitusi tetap memiliki kinerja yang baik dilihat dari banyaknya putusan yang telah diselesaikan.
Setiap tahun Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan index kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan yang mana Mahkamah Konstitusi cukup mendapat respon baik dalam hasil survei tersebut. Hal itu bisa menjadi gambaran bagaimana Mahkamah Konstitusi masih memiliki marwahnya dalam horizon masyarakat Indonesia.