Secara umum masyarakat Indonesia sangat mengharapkan semua koruptor dana bantuan pada Bencana Alam adalah di Hukum seberatnya-beratnya bahkan Hukuman Mati sekaligus, dalam hal ini saya selaku penulis juga menyetujui hal tersebut, akan tetapi bukan berarti kami yang menyetujui hukuman mati bagi koruptor dana covid-19 ini tidak memiliki hati.
Justru saya dan segenap dari mereka yang setuju perihal formulasi hukuman mati itu memilki rasa keadilan yang tinggi. Memang benar segenap masyarakat indonesia dilindungi oleh hak asasi manusia. Namun sekarang ini kita berbicara perihal hukuman pidana, dalam hukum pidana ada 3 faktor dalam proses mengadili pelaku yakni (Penjara, Denda, dan Mati) 3 hal ini sudah menjadi substansi pokok sebagai pengejawantahan keadilan.
Maka dalam membahas persoalan ini harus menyertakan ketentuan Undang-Undang Tipikor Pasal 2 ayat 2 “Tindakan Korupsi yang dilakukan dalam Keadaan Tertentu”. Maksud dari keadaan tertentu adalah keadaan yang dimana dapat dijadikan sebagai suatu alasan ketika memberikan sebuah pemberatan atau hukuman pidana bagi sang pelaku korupsi. yakni ketika dia melakukan korupsi dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana alam nasional, seperti halnya penyalah gunaan alokasi dana Covid-19 karena seperti penjelasan yang sudah tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), maka status yang sekarang ini paling pas disandarkan pada Pandemi Covi-19 ini adalah (Bencana Alam Nasional).
Dan sangat jelas bahwa jika ada oknum-oknum yang melakukan penyalahgunaan atau korupsi alokasi dana penanggulangan pandemi Covid-19 dapat diancam hukuman pidana mati, karena wabah pandemi ini secara sah dikategorikan dalam keadaan tertentu.
Sesuaikah Hukuman Mati diterapkan ditengah pandemi bagi pelaku Tipikor Dana Covid-19 :
Sebenarnya kalau kita berbicara masalah sesuai atau tidak itu pasti selalu berkaitan dengan perspektif masing-masing, bahkan terkadang ada hati nurani yang dilibatkan. Akan tetapi sekali lagi kita sedang membahas proses penegakan hukum. Saya paham persoalan yang akan disampaikan oleh para pihak yang tidak setuju hukuman mati koruptor dana covid-19 jika diimplementasikan yakni ada 2 alasan : alasan pertama “jika hukuman mati diterapkan apakah akan mengurangi para calon koruptor? Karena permasalahan narkoba juga dihukum mati tetapi tidak ada habisnya”, alasan kedua “semua manusia/masyarakat yang ada di indonesia diberkahi hak asasi manusia, salah satunya hak untuk hidup (Pasal 28 A)”
Kedua alasan ini sering diutarakan para aktivis hak asasi manusia apabila berdebat mengenai hukuman mati koruptor di Indonesia. Namun menurut saya alasan atau pertanyaan yang seperti diatas itu dapat kita jawab dengan mengembalikan prinsip keadilan atau definisi keadilan tertua yang dirumuskan oleh para ahli hukum zaman romawi, yang mengatakan “Justitia est constans et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi” (Artinya : Keadilan atau penegakan hukum itu adalah kemauan yang tetap dan kekal yang nantinya diberikan kepada setiap orang/seseorang yang berhak memilikinya atau semestinya”.
Dari sini kita sudah bisa memahami bahwa ketika kita mau menegakkan sebuah keadilan itu harus sesuai dengan apa yang menjadi dasar penegakan hukum itu sendiri, sehingga hasil dari penegakan itu akan dinikmati oleh orang-orang yang merasa dirugikan. Memang, jika kita pandang dengan HAM, hukuman mati ini seperti hukuman yang tidak menghargai hak orang lain, hukuman yang menjijikkan dan harus ganti. Namun sampai kapan kita mau bersembunyi dan mengikuti penegakan hukum yang tidak semestinya.
Lembaga pemberantasan korupsi sudah kita punya, formulasi hukum sudah di depan mata. Tinggal para praktisi hukum mau menjalankannya atau tidak? Jika iya maka kita harus memegang teguh prinsip yang pernah diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus “Fiat Justitia ruat caelum” (Artinya : Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh). Maka janganlah takut ketika melakukan sesuatu hal yang jujur dan benar.
Dalam hukum pidana tidak dapat dipungkiri bahwa itu menjadi upaya terakhir atau Ultimatum Remidium. Oleh karena itu jika memang sudah ditetapkan menjadi upaya terakhir maka penegakan keadilannya tidak boleh asal-asalan. Nah dari sini penulis bersikap gigih terhadap pidana mati.
Koruptor adalah dengan memberikan dasar-dasar atau asas hukum pidana, antara lain :
- Asas Errare humanum est, turpe in errope perseverare