Sayangnya, tanggapan pemerintah amat mengecewakan. Presiden menuding ada aktor politik di balik unras 411. Lalu publik dipertontonkan aksi Jokowi  mengunjungi pelbagai kesatuan militer, bersilaturahmi dengan para pemimpin ormas agama dan akhirnya pimpinan parpol.
Baiklah, gerak-langkah ini memang tidak berkorespondensi langsung dengan publik. Â Masalah baru menyentuh rakyat ketika tudingan makar dimunculkan oleh Kapolri. Lantas gerakan menghambat arus pengunjukrasa berhimpun di ibukota dilakukan. Himbauan bahkan sudah jatuh pada hambatan. Â Bis dihambat membawa massa ke ibukota, padahal selama ini mobilitas orang-orang ke segenap penjuru Nusantara tidak pernah dilarang. Kota Jakarta seolah-olah tengah diisolasi.
Belum cukup segenap rintangan itu, baru-baru ini terbit lagi isu baru. Terorisme. Orang-orang yang siap menjadi pengantin, melakukan bom diri. Amati baik-baik! Polisi menyiarkan tiga isu dahsyat berturut-turut selama satu bulan ini. Apa maksudnya?
Menariknya, isu terorisme ini lagi-lagi tidak dilantangkan dengan suara bulat. Kepala BNPT Â Komjen Suhardi Alius menyebut teroris berpotensi dompleng unras 212 (sumber). Sebaliknya, Wakapolri justru menyebut sebaliknya, aksi 212 damai, dan tidak ditunggangi teoris. (sumber)Â
Gapah-gopohnya aparat keamanan dalam memelantingkan wacana, tak pelak menguarkan keresahan publik. Unras 212 yang sejatinya sekadar gerakan menuntut keadilan menjadi teror tersendiri. Bukan hanya bagi para pengunjukrasa, tetapi bagi publik. Sungguh sangat disayangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H