Sudah beberapa waktu yang lalu, hari tengelam menyimpan semua cerita dalam lipatan waktu. Disebuah meja kosong, Aila duduk menghadap halaman kosong buku harian dengan sebuah pensil yang bergetar di jari-jari tangannya. Sebuah resonasi kecil bergetar dalam hatinya, memaksa Aila untuk mengungkap semua cerita mengenai kehidupan manusia yang telah ia lihat, ia alami dan ia rasakan pada hari ini dalam sebuah bentuk tulisan.
Alia duduk dengan tenang, membiarkan kata-kata melimpah ruah tumpah dari kepalanya, mengalir lembut melalui pensil kecil yang terus bergetar mengotori halaman kosong di buku hariannya. Kata-kata itu mengalir begitu saja seakan tak terbendung, membentuk sebuah pola-pola indah pada halaman-halaman putih buku harian.Â
Aila memulai dengan sebuah pertanyaan, "Apakah arti dari kehidupan ini?" tanya Aila pada dirinya sendiri, membiarkan pertanyaan pertanyaan itu melintas dari bibirnya dan tumpah ke halaman kosong di depannya. "Dan apakah ada sebuah tempat semacam tujuan yang sebenarnya dari segala hal yang telah kita lakukan berulang kali, setiap hari?" tambahnya, mengiringi pertanyaan dengan gerakan pena yang lembut seolah-olah menari santai dalam kerumitan kepala dan keheningan ruang.
Aila merenung dalam dunia pemikirannya, melayang terbang bebas kedalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Ia memasuki alam semesta yang tak terbatas, terbang diantara bintang-bintang, menjelajahi dimensi yang tak terjamah oleh mata dan akal manusia. Ia merasakan keheningan sambil mecari jawaban-jawaban  yang bisa jadi tercampur aduk  dalam lautan kata-kata yang menyamudera dalam pikirannya dan mengembara dalam cerita hidupnya.Â
Namun, dalam perjalanannya menuju gelombang eksistensial itu, Aila merasa dirinya berada dalam relung kegelapan yang penuh dengan ketidakpastian. Ia menyadari bahwa jawaban tak selalu terlihat dengan jelas, tetapi terkadang hanya bisa dipahami melalui perjalanan dan pengalaman hidup yang dalam dan refleksi yang mendalam.Â
Tak berselang lama Aila teringat pada sebuah ungkapan atau kutipan filsafat eksistensial, "Kita tidak bisa hidup mundur, hanya maju," yang mengingatkannya bahwa penemuan sebuah jawaban dalam kehidupan ini bukanlah tujuan akhir, melainkan proses dan perjalanan yang berbeda- beda bagi setiap manusia
Kembali dalam dunia nyata di kamarnya yang hening itu, Aila sadar, bahwa tak ada jawaban yang pasti atau akhir yang jelas dari setiap pertanyaan-pertanyaannya, tapi Aila merasakan ada keindahan dan kebermaknaan yang tersembunyi di dalam setiap momen kehidupan. Ia kembali menuliskan di buku harian, mencoba merefleksikan pemikirannya, seperti petir yang membelah kegelapan malam, kata-katanya menggeliat, menari membentuk medan emosi yang menggetarkan jiwanya.Â
" Apakah kita hanyalah butiran debu kecil yang terhempas dalam tarian abadi alam semesta ini? Ataukah kita hanyalah sebuah titik kecil yang terus berjalan di kosmos ini dengan membentuk pola-pola yang indah?" Pertanyaan-pertanyaan itu menyuarakan kerinduan yang samar, membayangkan jalan yang tak tercapai.Â
Dalam penutupannya Aila menulis, " Bukanlah jawaban yang kita cari, tetapi proses pemahaman yang membebaskan kita dari belenggu kebinggungan. Dalam perjalanan ini esok dan nanti, kita akan terus menemui pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam lagi, dan di situlah esensi hidup itu terletak."
Aila menutup buku harian itu, ia merasa lebih hidup dengan setiap kata yang tertulis di dalamnya. Jawaban yang eksplisit mungkin tidak pernah ditemukan, tetapi dalam pencariannya, Aila mengerti bahwa kehidupan ini harus dijalani dan dinikmati dengan ketenangan dan kedamaian bersama keindahan yang ada di sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H