Pagi itu, sinar matahari merayapi lembut wajah desa, memberikan kehangatan pada pagi yang memukau. Aku melangkah dengan langkah mantap di jalanan desa yang mulai ramai lalu lalang penduduk desa yang pulang dari masjid setelah selesai sholat idul fitri. Langit pun tapak semakin cerah penuh dengan awan tipis yang seolah menari dengan riang di cakrawala. Mereka menyajikan keindahan pagi yang dingin, meninggalkan jejak hujan semalam dalam tetesan embun di rerumputan.
Disepanjang jalan desa, aku merasakan sisa sisa kesakralan bulan Ramadhan yang masih terasa pekat di jalanan jalan desa ini. Namun, hiruk pikuk bunyi bising pertanyaan "kapan menikah" mulai terdengar mencemari gelombang bunyi memecahkan keheningan pagi di desa ini. "Kapan menikah?" Seperti sebuah ritual yang datang setelah Hari Raya Idul Fitri, pertanyaan itu tampaknya menjadi suatu kewajiban yang terus dipertanyakan secara berulang untuk mereka yang belum menemukan pasangan hidupnya. Seperti zakat fitrah, pertanyaan "Kapan menikah" harus dibayar setiap setahun kali pada Hari Raya Idul Fitri .
Namun, setelah mendengar pertanyaan itu berulang kali dari tahun ketahun dari hari kejari, kini memicu munculnya pertanyaan baru dalam hatiku yang berwarna merah jambu. Pertanyaan "Kenapa kita harus menikah?" Adalah sebuah pertanyaan yang lebih dari sekadar kebiasaan sosial, menggugah refleksi mendalam tentang makna dari keberadaan sosial dan arti sebenarnya dari pernikahan.
Dalam kompleksitas pertanyaan itu, aku mencoba mengamati memahami dari sebuah perjalanan seorang individu dalam kehiidupan pernikahan. Hidup berumah tangga memang merupakan sebuah institusi penting dalam masyarakat, tetapi seringkali alasan di baliknya terlupakan. Pernikahan bukanlah hanya sekadar mengikuti norma sosial, tetapi juga melibatkan refleksi mendalam tentang hakikat keberadaan dan tujuan hidup kita.
Saat aku melangkah lebih jauh di jalanan desa ini, aku membiarkan pertanyaan ini membimbingku ke dalam refleksi yang semakin dalam. Sedikit kusadari bahwa pernikahan adalah perpaduan harmonis antara eksistensi individu kita dan kebersamaan sosial. Ini adalah panggilan untuk menjalani hidup bersama, saling mengisi dan saling dukung dalam perjalanan hidup kita.
Namun, mungkin pertanyaan "Kenapa kita harus menikah?" tidak memiliki jawaban tunggal yang tepat bagi setiap orang. Setiap individu memiliki alasan yang unik, didasarkan pada kehidupannya sendiri, nilai-nilainya, dan pengalamannya. Sering kali filsafat eksistensialisme mengajarkan kita untuk menemukan makna dan tujuan hidup kita sendiri, ini berlaku juga dalam konteks pernikahan.
Saat aku melangkah lebih dalam di jalanan desa yang sunyi itu, aku menjadi semakin sadar bahwa pertanyaan "Kenapa kita harus menikah?" adalah pertanyaan puitis yang menggugah keberadaan kita. Pertanyaan ini mendorong kita untuk merenungkan esensi eksistensi diri kita dalam konteks sosial dalam komunitas yang lebih luas.
Dalam segala kompleksitasnya, pertanyaan-pertanyaan muncul seperti arus tak berujung yang membawaku dalam perjalanan penemuan diri. Pertanyaan tentang arti hidup, makna cinta, dan batasan individu dalam konteks kehidupan berkeluarga dan kehidupan bersama.
Seiring aku melangkah semakin jauh di jalanan desa yang sunyi itu, aku menyadari bahwa pertanyaan "Kenapa kita harus menikah?" adalah sebuah pertanyaan yang mendalam dan memilukan. Namun, aku juga membuka pintu hatiku pada kemungkinan penuh harapan dan makna yang tersembunyi di baliknya. Pernikahan adalah medan untuk menggali potensi diri kita, di mana keunnikmatan individu dan kebahagiaan bersama dapat terwujud dalam perpaduan yang harmonis.
Saat mentari semakin tinggi di langit, aku merasa bahwa jalanan desa ini menjadi saksi perenungan diri yang mendalam. Di kesepiannya, aku merasakan kehadiran kuat keberkahan dan cinta. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah pernikahan adalah tentang menemukan kebahagiaan mutlak ataukah tentang saling melengkapi dan tumbuh bersama dalam kebaikan?
Dalam perjalanan hidup ini, tak selalu ada jawaban pasti. Namun, diantara gairah pertanyaan dan keraguan baru, aku menyadari bahwa pernikahan adalah suatu panggilan untuk berbagi kehidupan dengan orang yang kita cintai. Ini adalah tawaran untuk membentuk ikatan yang kuat, saling mendukung dan melengkapi dalam kebaikan dan kesulitan. Selain itu, hatiku yang merah jambu juga mengungkapkan bahwa pernikahan melibatkan upaya manusia untuk mencari, menemukan, menghilangkan, menambahi, mengurangi, merawat, dan bahkan membunuh aspek-aspek yang ada pada diri kita.