Di ujung senja ada seorang laki-laki duduk di kursi dengan satu meja, isi kepalanya begitu ramai riuh dengan pertengkaran - pertengkaran yang di ciptakan oleh pikirannya sendiri, sedengkan hatinya sunyi sepi di dera rindu yang tak kunjung reda.
Di tengah kebinggungan dan kebisingan kepalanya ia menegakkan kepala dan hatinya berlahan berbicara,
"Tuhan jadikanlah kesedihan dan kerinduanku ini sebagai mana senjamu itu, agar aku mampu menikmatinya di setiap semburat sinar cahayanya, tetapi Tuhan, aku mohon durasi waktunya yang lebih lama, karena sejujurnya aku ingin lebih lama lagi untuk menikmati dan larut dalam gelombang kesedihan beserta kerinduanku, agar aku tak begitu jauh dari perenungan - perenunganku, Tuhan jagan pernah Kau ambil mata air air mataku".
Tak lama kemudian, ada seorang laki-laki tua yang berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelahnya, laki - laki tua itu lantas meletakkan tangan di atas pundank laki - laki tersebut dan berkata,
"Adakalanya laki - laki menguras air matanya untuk laki - laki, ada waktunya laki-laki terjun dan terperosok ke dalam jurang kesedihan untuk merenung dan menikmati kerinduannya kepada laki - laki, adakalanya laki - laki tertunduk mengerutu kepada Tuhannya untuk mengharap agar laki - laki tetap tersenyum di dalam dunianya, tetaplah berjalan seperti aku dan aku menunggumu dalam ke abadia." Setelah itu laki laki tua itu menghilang bersamaan dengan kata - kata yang ia ucapkan.
Seiring dengan hilangnya suara itu , laki - laki yang duduk sendiri di ujung senja itu angkat kaki dan diam - diam hatinya berkata, " Tuhan jagan Kau ambil tangis ku untuk dia."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H