Adakalanya kita menyempatkan diri untuk menyaksikan sebuah film. Duduk di kursi bioskop yang nyaman, sekantong popcorn yang aroma wanginya menusuk hidung, pancaran cahaya dari proyektor menampilkan gambar bergerak di papan yang lebar nan besar. Memanjakan mata dengan serunya genre aksi laga ataupun menutup mata saat adegan sekuens horror. Tentu hal ini merupakan salah satu keindahan dari kehidupan karenanya bisa menikmati tampilan cerita visual hingga mampu melupakan waktu sejenak. Semacam bentuk eskapisme dalam hiruk-pikuk kehidupan yang terkadang menyebalkan.
Seiring sejarahnya, sinema merupakan bentuk ekspresi keartisan dalam menciptakan karya-karya visioner berisikan plot maupun babak untuk menampilkan suatu cerita utuh. Kita bisa kembali ke Prancis abad-19 dimana kamera lensa pertama kali ditemukan. Tangkapan-tangkapan gambar stop motion atau teknik gerak henti, kolase foto-foto orang berkuda yang digabung menjadi satu kesatuan hingga film bisu hitam putih Le voyage dans la lune atau Perjalanan ke Bulan (1902) karya Georges Mlis. Tak berhenti disitu, perkembangan film sebagai medium baru seni tersebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Ekspansi industri sinema berkembang pesat di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dimana kapitalisasi film sebagai komiditi mainstream berkembang. Lakunya film-film besutan Amerika Serikat ini didasari oleh antusiasnya para pembuat film yang terfokuskan akan aktor-aktor ansambel, penulisan naskah megah dari adaptasi literatur klasik serta media promosi kreatif. Influens Hollywood tak hanya meledak di penjuru Amerika dan Eropa tetapi ke Indonesia pula sejak setidaknya tahun 1900-an melalui bantuan distribusi Hindia Belanda.
Di Indonesia sendiri berkembangnya industri film mayoritas berasal dari rumah produksi kolonialis Belanda. Lanskap media cerita yang selalu terfokuskan akan Eropasentris yang tujuannya hanya satu, menghibur orang-orang kulih putih dan memarjinalkan pribumi. Film-film awal Indonesia di era Hindia Belanda seperti Loetong Kasaroeng (1926) besutan sineas Belanda, G. Kruger & L. Hueveldorp dan Lily Van Shanghai (1928) besutan China.
Lantas bagaimana dengan sinema produksi asli Indonesia? Apa kontribusi Merah Putih kepada dunia perfilman? Mari berkenalan dengan Bapak Film Indonesia. Usmar Ismail lahir pada 20 Maret 1921 di Bukittingi, Sumatera Barat. Ia merupakan sineas, seniman, wartawan, politisi dan sastrawan angkatan '45. Menempuh pendidikan dari sekolah rendah, Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan lanjut ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) B di daerah Simpang Haru, Padang. Saat tamat sekolah lanjutan pertama, ia lanjut ke AMS Negeri A-II di Yogyakarta. Ia menyelesesaikan gelar sarjananya di University of California, Los Angeles dalam jurusan sinematografi dengan gelar B.A. (Bachelor of Arts). Dari sinilah ia memperdalam ilmu dan khazanah produksi film di "Tanah Suci Film" serta beberapa kali mengunjungi Eropa Barat untuk menyaksikan perkembangan film di belahan benua itu.
Usmar Ismail merupakan figur influental dan sosok pionir dalam perkembangan film Indonesia. Sosoknya yang berbakat dan visioner dalam mengembangkan cerita teaterikal serta drama. Darah dan Doa (1950) merupakan film produksi pribumi pertama di Indonesia oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang sekaligus juga merupakan debut direktorialnya dengan naskah orisinil. Momentum pengambilan gambar di film ini pula yang menjadi peringatan bagi Hari Film Nasional pada 30 Maret 1950. Tanpa Usmar Ismail, perkembangan film-film Indonesia tak akan berkembang dan leluasanya film-film asing di bioskop lokal.
Dari film Darah dan Doa, Usmar Ismail memulai kiprahnya sebagai sutradara dengan karya-karya yang lain seperti Enam Djam di Jogja (1951), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1957) dan banyak lagi. Mengutip Asrul Sani dalam buku Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan karangan Choirotun Chisaan, Usmar Ismail ialah seorang nasionalis-religius. Terbukti akan keterlibatannya dengan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang terafiliasi dengan Nadhlatul Ulama atau NU. Pandangan Islami ini pun memengaruhi gaya cerita dalam karya-karya filmnya. Ada tiga tema utama yang dapat dikaji dalam karya-karyanya, yakni nasionalisme, humanisme, dan kepercayaan kepada Tuhan.
Sebagai contoh dalam karya magnum opus-nya yang melegenda, Tiga Dara (1957) dibintangi oleh Chitra Dewi sebagai Nunung, Indriati Iskak sebagai Nenny dan Mieke Wijaya sebagai Nana dimana mereka merupakan tiga saudari yang terjebak dalam drama dan konflik romansa. Konfliktual-konfliktual akan jatuh cinta maupun patah hati yang eksis dalam plot cerita komedi satire, serta stigma masyarakat akan mitos hubungan adek yang mendahului menikah dari kakaknya yang menyinggung isu materialistik dan pernikahan tradisional dimananya menciptakan betapa organik dan hangatnya sisi humanis cerita ini.
Masa-masa akhir Sang "Bapak Perfilman Indonesia" tetap bergelut dalam industri pembuatan film. Melalui koneksinya dengan Lesbumi, Usmar Ismail sempat menjabat sebagai politisi di MPR pada era Kepresidenan Soekarno. Kepiawaiannya dengan menulis dan pembuatan naskah secara tidak langsung menginfluens para sineas-sineas Indonesia untuk selalu bergerak dalam berkarya. Usmar Ismail meninggal pada 2 Januari 1971 pada usia 49 tahun. Ia meninggal karena stroke dan pendarahan otak. Jasadnya disemakamkan di Karet, Jakarta dimana Bapak Perfilman Indonesia beristirahat selamanya.