Kebijakan hukum anti-korupsi seharusnya berfungsi menegakkan keadilan dan memberantas korupsi secara tuntas tanpa pandang bulu. Sayangnya, praktik tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah menjadi sorotan karena sering dianggap sebagai alat politik untuk "pembunuhan karakter" dan melemahkan lawan politik.Â
Fenomena ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan tetapi juga membawa dampak serius terhadap hak-hak individu, dan menimbulkan kecurigaan adanya muatan politis dalam proses hukum. Persoalan seperti ini semakin menyoroti bahwa upaya pemberantasan korupsi tidaklah benar-benar adil dan menyeluruh, melainkan rentan dipengaruhi oleh faktor eksternal, khususnya politik.
Pada dasarnya, hukum diharapkan menjadi alat yang adil untuk memastikan bahwa semua orang diperlakukan sama tanpa pandang bulu. Akan tetapi, dalam kasus korupsi di Indonesia, sering terlihat adanya perbedaan perlakuan yang mencolok antara satu terdakwa dengan terdakwa lainnya.
Sebagai contoh, nama Tom Lembong yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus korupsi impor gula, menurut laporan Tempo, Tom Lembong belum terbukti menerima aliran dana dalam kasus tersebut, namun sudah ditetapkan sebagai tersangka. Meskipun demikian, pemberitaan dan desas-desus tentang kasusnya sudah lebih dulu merusak reputasinya, membentuk opini publik yang seolah menyatakan ia bersalah, padahal bukti konkritnya belum ada.
Contoh lain adalah kasus Tol MBZ yang menjadi perdebatan panjang. Salah satu terdakwa pada kasus ini juga meminta untuk dibebaskan setelah proses panjang karena tidak adanya bukti yang cukup. Kendati demikian, langkah ini sering kali terlambat dan dampak negatif sudah terlanjur dirasakan oleh pihak terdakwa.
Di sisi lain, laporan dari mantan Presiden Jokowi pada tahun 2022 menunjukkan jumlah pejabat yang sudah tertangkap dalam kasus korupsi sejak 2004 mencapai angka yang cukup besar, meliputi menteri hingga ketua DPR. Meski angka ini mengesankan, perlu diperhatikan apakah semua pelaku mendapatkan perlakuan hukum yang sama, atau hanya terbatas pada figur-figur tertentu dengan alasan tertentu.
Pembunuhan Karakter sebagai Instrumen Politik
Fenomena ini semakin kuat dikaitkan dengan istilah "pembunuhan karakter." Ketika nama seseorang dikaitkan dengan korupsi, publik cenderung menganggapnya sebagai sosok yang tidak bermoral dan berbahaya bagi masyarakat.
Meskipun proses pengadilan belum selesai atau bahkan bukti-bukti tidak cukup untuk membuktikan kesalahan, stigma negatif terhadap tokoh tersebut sulit untuk dihilangkan. Proses hukum yang bertele-tele, pemberitaan yang berulang kali, serta opini-opini yang tersebar di media sosial mengakibatkan pembentukan citra negatif yang sangat merugikan.
Hal ini tidak hanya terjadi pada individu yang memang benar-benar bersalah, namun juga pada mereka yang belum tentu terbukti terlibat. Kasus bebasnya Samin Tan, misalnya, menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan hukum, yang menimbulkan dugaan bahwa sistem peradilan di Indonesia rentan disusupi kepentingan-kepentingan tertentu. Pembebasan terdakwa besar seperti Samin Tan menambah daftar panjang figur-figur yang bebas atau mendapat keringanan hukuman dalam skandal korupsi besar.