Siapa di sini yang suka berselancar di media sosial? Sebut saja seperti di Instagram, X, Facebook, dan lainnya. Kalau saya, seringnya di Instagram dan ada satu fenomena yang sering saya temukan, yaitu komentar yang diluar dari konteks. Fenomena ini sering sekali saya temukan, terutama pada video-video pendek seperti reels yang isinya tentang penyampaian suatu informasi yang menurut saya bermanfaat tapi malah komentarnya banyak yang di luar konteks informasi tersebut.
Contohnya, kemarin saya menemukan sebuah video yang menjelaskan mengenai informasi bahwa kita jangan mengonsumsi sayur dan buah secara berlebihan, karena dapat menyebabkan perut menjadi kembung. Hal ini disebabkan karena buah dan sayur memiliki kandungan serat yang tinggi yang tentunya baik untuk kesehatan. Namun, si narasumber menyatakan bahwa "jangan dikonsumsi berlebihan" karena tingginya serat, tentu di pencernaan akan mengalami proses fermentasi dan hasil akhirnya berupa gas yang dapat membuat perut kita menjadi kembung.
Setelah saya menonton videonya sampai penuh, saya melihat di kolom komentar dan menemukan satu akun yang berkomentar "makan daging gak boleh, makan sayur gak boleh, makanan yang terbaik apa dong? tanah". Lalu si pembuat konten menyatakan bahwa di dalam videonya dia menyampaikan bahwa jangan dimakan secara berlebihan. Lalu pertanyaan selanjutnya muncul "ini aja konten video, orang males denger dan menontonnya.. apalagi membaca?"
Memang pada akhirnya pernyataan "literasi rendah" ini menjadi hal yang sebetulnya bukan menjadi sebuah bercandaan lagi. Ini merupakan hal yang sangat serius dan perlu untuk diperbaiki. Tapi masalahnya, seperti peribahasa ada asap pasti ada api tentu membuat saya berpikir, apa sih yang menyebabkan netizen atau bahkan kita malas membaca sebuah informasi atau mendengarkan sebuah konten yang informatif?
Di era digital yang semakin maju, akses terhadap informasi telah menjadi lebih mudah dan cepat. Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan besar, terutama dalam kemampuan kita semua untuk memahami informasi secara akurat. Banyak orang dengan cepat menyimpulkan sesuatu tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas. Fenomena ini bukan hanya menjadi masalah pribadi kita sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor kognitif, sosial, dan struktural.
Dalam artikel ini, kita akan menganalisis penyebab utama mengapa banyak individu salah menafsirkan informasi, serta bagaimana bias kognitif dan struktur sosial turut berkontribusi dalam pola pemahaman yang kurang akurat.
1. Literasi Membaca dan Berpikir Kritis
Menurut laporan PISA (Programme for International Student Assessment) 2018, Indonesia masih berada dalam peringkat rendah dalam hal literasi membaca. Kemampuan individu untuk memahami informasi dalam bentuk teks yang kompleks masih tergolong lemah, yang berdampak langsung pada ketidakmampuan untuk menarik kesimpulan yang valid (OECD, 2019).
Studi dalam bidang psikologi kognitif menunjukkan bahwa pemrosesan informasi yang dangkal sering kali menghasilkan pemahaman yang tidak akurat (Daniel & Willingham, 2012). Seseorang yang hanya membaca potongan informasi tanpa menganalisis keseluruhan konteks lebih cenderung menarik kesimpulan yang keliru. Dalam konteks media sosial, di mana informasi sering dikemas dalam format singkat dan sensasional, proses pemahaman semakin rentan terhadap kesalahan.
Misalnya, banyak individu yang menonton video edukasi tentang dampak konsumsi serat yang berlebihan hanya mengambil poin bahwa "buah dan sayur dapat menyebabkan kembung," tanpa memahami bahwa efek tersebut terjadi jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan tanpa keseimbangan nutrisi lainnya. Kesalahan pemahaman seperti ini menunjukkan bahwa literasi membaca bukan sekadar kemampuan membaca teks, tetapi juga mencakup keterampilan menafsirkan dan mengevaluasi informasi secara kritis.
Istilah lain dari kondisi ini adalah lompat ke kesimpulan atau kesesatan dalam berpikir. Tentu ada faktor pendukung mengapa kebanyakan dari kita mengalami kondisi seperti ini. Pastinya, hal ini disebabkan karena kita mengonsumsi terlalu banyak informasi yang bersifat hoax, fabricated, dan clickbait. Kemudian kesalahan lainnya terjadi ketika kita tidak bisa membedakan mana yang termasuk satir dan memang mengkritik dengan cara menjelek-jelekkan tentang sesuatu karena memang beda tipis. Apalagi kalau misal dibuat dalam bentuk video dan bisa saja diedit oleh kebanyakan orang, akhirnya malah menjadi alat untuk melakukan adu domba. Bahasa kerennya, semua ini dibuat oleh media atau perorangan dengan tujuan untuk "konsumsi media".